Thursday, March 28, 2024

Pada Semerbaknya Bau Mur

*Renungan Jumat Agung*

Pada malam itu, pada sesi pengambilan keputusan, Yusuf dari Arimatea mengangkat tangannya. Ia melihat sekeliling ruangan. Tak ada tangan lain yang teracung ke atas.

Tidak. Ternyata ia tidak sendiri. Tiba-tiba satu tangan lagi terangkat di barisan sebelah kanan. Dilihatnya tangan Nikodemus tegak lurus ke atas. Saat itulah mereka beradu pandang.

Dalam perdebatan di sidang tadi, Nikodemus mempertanyakan, “Apakah hukum kita menghukum seseorang sebelum didengar keterangannya terlebih dahulu?” Tetapi sanggahan Nikodemus dan Yusuf tertelan oleh berbagai argumen yang dikemukakan kebanyakan anggota sidang yang lebih pro Kayafas.

Yusuf dan Nikodemus masih menunggu dan berharap ada tangan-tangan lain yang terangkat. Ruang sidang sangat lengang sehingga jika ada jarum yang terjatuh akan terdengar oleh setiap telinga.

Detik-detik yang menegangkan itu tidak berlangsung lama, karena Kayafas, pemimpin rapat sidang Sanhedrin itu, kemudian berbicara dengan suara berat, “Dua lawan enam puluh sembilan. Keputusannya Si Penyesat itu harus dihukum mati. Kita akan bawa Dia kepada Pilatus agar aspek legalnya terpenuhi.”

Tak ada interupsi. Hanya suara-suara seperti lebah mendengung di seluruh ruangan.

Lalu Kayafas mengetok palunya.

Para Rabi kemudian bubar dan meninggalkan ruang sidang, kecuali Kayafas dan beberapa orang Rabi saja.

Yusuf mendekati Nikodemus. Ketika keduanya melangkah ke pintu keluar, mereka sempat mendengar Kayafas yang sedang kasak-kusuk dengan beberapa Rabi itu. Lamat-lamat Yusuf dan Nikodemus mendengar kata ‘penyergapan’ dan ‘Getsemani’. Entahlah. Keduanya berjalan dengan perasaan campur-aduk: marah, sedih, dan takut.

Di seberang jalan Yusuf mengucapkan salam kepada Nikodemus lalu mereka berpisah.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Yusuf mengingat-ingat lagi semua perkataan Yesus yang pernah didengarnya selama ia mengikuti-Nya. Sudah beberapa bulan terakhir ia menetapkan hatinya untuk menjadi murid-Nya, tetapi secara diam-diam. Dalam situasi seperti itu, memang lebih baik ia tidak terang-terangan, sebab ia tahu hampir semua rekannya sesama anggota Sanhedrin membenci Yesus.

Satu-satunya rekannya yang sepaham dengannya hanya Nikodemus. Dari Nikodemuslah ia mendapat banyak pengajaran penting.

“Guru mengatakan bahwa kita harus dilahirkan kembali untuk melihat Kerajaan Allah,” kata Nikodemus kepadanya setelah percakapannya dengan Yesus di suatu malam.

Lalu Nikodemus berbicara panjang-lebar.

Ia tidak begitu mengerti apa yang Nikodemus paparkan, tetapi ia menangkap kesan bahwa rekannya itu seperti mendapat pencerahan yang ia sendiri tak bisa mengartikannya. Ia pun sama. Di dalam hatinya seperti ada sepercik api yang tiba-tiba meletup yang membuat jiwanya tiba-tiba merasa haus dan lapar. Rasa haus dan lapar itu baru terpuaskan setiap kali ia mendengarkan perkataan-perkataan Yesus.

“Ia bukan manusia biasa,” bisiknya kepada Nikodemus di suatu hari ketika mereka bertemu di bait Allah. Mereka sedang menyimak tanya-jawab antara Yesus dan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang di antaranya adalah rekan-rekan Yusuf sendiri.

Tanya-jawab itu begitu serunya. Mereka mencecar Yesus dengan berbagai pertanyaan soal asal-usulNya, sesuatu yang tidak substansial sama sekali.

“Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah,” kata mereka.

“Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku,” jawab Yesus.

“Kau ini keturunan siapa? Kalau kami.. huh, kami adalah anak-anak Abraham.”

“Jika kamu adalah anak-anak Abraham, kamu akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham, dan kamu juga seharusnya bersukacita karena Aku, sebab Abraham bersukacita telah melihat Aku.”

“Hah? Umur-Mu masih semuda ini dan Engkau sudah melihat Abraham?”

“Sebelum Abraham ada, Aku telah ada.”

Gegerlah ruangan bait Allah itu. Kumpulan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu hiruk-pikuk. Mereka tak dapat melanjutkan tanya-jawab itu karena emosional. Belum pernah selama ini ada orang yang demikian lugas menjawab para pemuka agama itu. Kebanyakan orang akan ciut nyalinya berhadapan dengan mereka. Jangankan berhadapan, melihat jubah mereka yang panjang saja kebanyakan orang akan gemetar, lebih baik menyingkir, karena jubah panjang mereka yang putih dan berkibar-kibar itu seakan mengejek mereka sebagai orang berdosa.

Para pemuka agama itu keluar dari bait Allah dan mengambil batu.

“Hmm.. orang-orang dungu,” pikir Yusuf. Ia hanya menonton dari jauh. “Kalah argumentasi main batu,” pikirnya lagi sambil berjalan meninggalkan bait Allah.

Beberapa hari kemudian terkejutlah Yusuf. Malam itu ia mendengar kabar bahwa Yesus telah ditangkap di taman Getsemani.

“Tak keliru telingaku ketika mereka kasak-kusuk sehabis sidang waktu itu,” pikir Yusuf.

Ia mengumpulkan informasi dari beberapa orang, bahkan dari lingkaran dalam istana Pilatus yang selama ini cukup dikenalnya dengan baik.

“Benar, tadi malam sewaktu Ia berdoa,” kata seseorang.

“Kayafas menyuap salah satu murid-Nya untuk memastikan mereka menangkap orang yang tepat, karena di malam hari tidak mudah membedakan Dia dengan murid-muridNya,” kata yang lain.

Dada Yusuf berdegup kencang. “Hmm.. selalu ada pengkhianat di lingkaran terdekat,” pikir Yusuf.

Semalam-malaman itu Yusuf tak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang bakal terjadi setelahnya. Ia ingin menghubungi Nikodemus tetapi malam sudah terlalu larut.

Pada malam itu ia memperoleh info bahwa besok pagi Kayafas akan menggelandang Yesus menghadap Pilatus untuk menuntut hukuman mati.

Keesokan harinya pagi-pagi benar Yusuf sudah bersiap. Ia berjalan menuju ke gedung pengadilan tempat orang menghadapkan terdakwa kepada Pilatus. Dari jauh, di antara kerumunan orang Yusuf melihat Yesus dengan tangan terikat, wajah yang babak-belur dan jubah yang robek sedang didorong-dorong oleh massa. Kayafas berdiri di sebelah-Nya.

“Sepagi ini kau datang, Kayafas? Siapa yang kau bawa?” tanya Pilatus.

“Jika Dia bukan seorang penjahat, aku tidak akan membawa-Nya kepadamu,” jawab Kayafas.

“Ia menghujat Allah!” teriak seseorang di antara kerumunan.

“Jika begitu, adililah Ia menurut hukummu sendiri. Aku tidak sudi ikut campur!” kata Pilatus.

“Hukum kami melarang kami untuk membunuh!” sergah Kayafas.

Yusuf mendengar dengan jelas. “Licik! Ia memakai tangan Pilatus untuk membunuh. Munafik!” pikirnya.

Hampir dua jam pengadilan itu berlangsung. Pilatus mondar-mandir dan keluar-masuk gedung pengadilan. Sementara itu massa makin banyak berkumpul di halaman.

Ketika matahari makin tinggi dan halaman gedung itu makin hiruk-pikuk, Yusuf mendengar Pilatus menjatuhkan vonis mati sambil mencuci tangannya. Mereka mengarak Yesus dengan memikul kayu salib menuju bukit Golgota yang terletak di pinggiran kota Yerusalem.

Darah Yusuf mendidih. “Bukankah hukuman salib oleh Romawi hanya untuk para pembunuh dan pemberontak negara?” tanyanya dalam hati. Ia berjalan pulang dengan hati yang hancur.

Menjelang petang, Yusuf menguatkan tekadnya untuk menghadap Pilatus. Ia bermaksud meminta mayat Yesus untuk diturunkan dari kayu salib. Sejenak hatinya galau, karena ia ingat bahwa sebentar lagi Sabat, dan menjamah mayat tidak diperbolehkan menurut hukum Taurat. Ah, peduli amat, najis biarlah najis, pikirnya. Ia bergegas menemui Pilatus.

Cukup lama ia berbicara dengan Pilatus. Lalu ia mengeluarkan sebuah kantong dari balik jubahnya, dan diberikannya kepada Pilatus.

“Akan kau kuburkan dimana mayat-Nya?” tanya Pilatus.

“Di bakal makamku sendiri, sebuah gua batu yang telah aku siapkan,” jawab Yusuf.

“Kau cari orang sendiri untuk membantumu menurunkan mayat-Nya. Prajuritku sedang bertugas semua,” kata Pilatus mengakhiri pembicaraan.

Yusuf mempercepat langkahnya menuju rumah Nikodemus. Hari semakin gelap ketika mereka berdua sampai di Golgota. Disana mereka melihat Ibu Yesus dan Maria Magdalena masih meratap di bawah tiang salib.

Mereka menurunkan mayat Yesus lalu membawanya ke sebuah kompleks pekuburan orang-orang kaya. Yusuf menunjuk makam miliknya sendiri yang belum pernah digunakan untuk menguburkan orang. Di situlah mayat Yesus dibawa.

Setelah meminyaki mayat-Nya dan mengafaninya, mereka membaringkan mayat-Nya di dalam.

“Terimakasih atas kebaikan Tuan untuk Anakku…,” bisik Ibu Yesus lirih sambil mengisak.

Duka menyatu dengan sepinya malam. Angin menghembuskan semerbak bau mur dan minyak gaharu. Yusuf menghirup kematian Gurunya.

Mereka masih lama berada di pekuburan itu, tidak peduli hari sudah memasuki Sabat.

*

Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan makamnya di antara orang kaya.” (Yesaya 53:9a)

***

Serpong, 28 Mar 2024

Titus J.

Sunday, February 11, 2024

Pilpres: Memilih Etika

 

Saya nemu file sepuluh tahun lalu ini. Judulnya “Jokowi or Prabowo?” Artikel ini saya tulis untuk koran The Jakarta Post di Readers’ Forum tanggal 2 April 2014.

Ini awal saya mendukung Jokowi di pilpres. Kemenangannya saya rayakan bersama teman-teman yang sepemikiran: ingin punya pemimpin yang sederhana, merakyat, dan bersih.

Dan keinginan itu terjawab dengan kinerjanya selama lima tahun. Saat itu Jokowi sering dihina dan dilecehkan, tetapi ia tak ambil pusing.

Hal lain yang membesarkan hati, kita melihat keluarganya pun biasa-biasa saja. Gibran jualan martabak, Kaesang jualan pisang, Kahiyang seorang putri yang tidak menonjol sebagai putri Presiden. Ketiga anak ini betul-betul jauh dari sorotan dan tidak pernah ngerecokin bapaknya.

Lalu Jokowi maju lagi di pilpres untuk kedua kalinya. Saya nyoblos dia lagi. Ia adalah role model yang memberi harapan.

Di periode kedua ini, Jokowi punya grip yang semakin kuat dalam memegang kendali pemerintahan. Jika tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi hanya 60 persen di tahun 2021, pelan-pelan menanjak sampai 75 - 80 persen di akhir tahun lalu.

Dengan tingkat kepuasan publik setinggi itu, ia dipuji bagai dewa. Orang melihat apa yang dilakukannya selalu benar.

Benarkah ia tak pernah salah, dan tak bisa salah?

Saya banyak menulis tentang Jokowi, tentang pencapaiannya plus kesederhanaannya. Kombinasi antara pencapaian dan kesederhanaan ini jarang dimiliki oleh seorang pemimpin. Ia pernah mengatakan, jika selesai tugasnya sebagai presiden, ia akan menjadi rakyat biasa. Saya kagum dengan statement ini, seperti kekaguman saya kepada Barack Obama yang setelah lengser sebagai presiden Amerika menjadi rakyat biasa.

Tetapi tiba-tiba dalam beberapa bulan terakhir ini semua gambar saya dalam profil Jokowi menjadi ambyar. Banyak sekali laku politiknya yang sulit dipahami, terutama setelah anak sulungnya dikarbit menjadi cawapres dengan melukai konstitusi.

Pada pilpres ini, betapa etika sangat dihina. Tetapi saya tetap akan berpihak pada etika, walaupun mungkin akan kalah.

(Ethics is knowing the difference between what you have a right to do and what is right to do – Potter Stewart)

***

Serpong, 9 Feb 2024

Titus J.

Saturday, January 6, 2024

Condy Delivers Master Class in Statecraft

Condoleezza Rice or Condy as she is called, is known as one of the world’s most admired women who played a critical role as the most confidante of President George W. Bush from 2001 to 2009. Bush appointed her as the National Security Advisor in his first term of presidency, and when Bush was re-elected for the second term, he asked Condy to be the Secretary of State.

In United States, if the President were to resign or die, the Secretary of State is fourth in line of succession after the Vice President, the Speaker of the House, and the President pro tempore of the Senate. Besides this critical position, the US Secretary of State is in charge to shape and carry out the President’s foreign policy for which she had to travel around the globe even to the countries deem America is enemy.

The 9/11 terrorist attack occurred just nine months after Condy took the position as National Security Advisor and she proved that she was competent in managing crisis.

“There’re a lot of work to do under enormous pressure afterward, and any missteps could have dire consequences,” she wrote.

Condy was the first woman to serve as national security advisor and the first female African-American secretary of state.

This memoir is not only telling her political experiences during eight years of services, but also her soft feeling as a human being in any situations and countries she visited, despite her reputation as a tough and strong lady.

In chapter 26 “A Heartbreaking Place Called Darfur”, after she looked at the impact of civil war, she wrote, “I left Darfur so incredibly sad, full of regret, and deeply offended by what I had seen. How could the so-called international community tolerate that kind of misery and barbarity?”

Another “weird” story she shared was about her meeting with Moammar Qaddafi. The Libyan ruler called her as his “African Princess”. The conversation in the meeting actually was just a chit-chat and after that Qaddafi insisted Condy for dinner in his private kitchen. “At the end of dinner, Qaddafi told me that he’d made a videotape for me. Uh, oh. I thought, what is this going to be?” she wrote. Okay, this is Qaddafi, she thought.

Surprisingly, in that moment Qaddafi set a music of song called “Black Flower in the White House” written by Libyan composer.

The Israel-Palestina, India-Pakistan, Iraq, Iran, Afghanistan, North Korean, China, Russia, Latin America are other stories worth to read.

“As secretary of state I was always aware of the constraints of the world as it is and resolved to practice the art of the possible. But I also tried not to lose sight of the world as it could be, and insisted on a path toward the end. This is the long-term work of diplomacy. History will judge how we did. I can live with that, and I am grateful for the chance to have tried,” she closes the memoir.

***

Serpong, 6 Jan 2024

Titus J.

Thursday, December 7, 2023

Lee Kuan Yew: Ojo Kesusu

Betapa sabarnya Lee Kuan Yew (LKY).

Ia tidak buru-buru menjadikan anaknya, Lee Hsien Loong, langsung menggantikannya ketika LKY lengser sebagai Perdana Menteri di tahun 1990.

Waktu itu, Lee junior sudah menjadi anggota parlemen (umur 32 tahun), lalu menapaki karirnya sebagai Menteri Perdagangan dan Industri (umur 34 tahun), lalu Wakil Menteri Pertahanan. Di ketentaraan (SAF - Singapore Armed Forces), ia berpangkat Brigadir Jenderal.

Toh LKY belum menganggap anaknya cukup. Ia tidak mau anaknya langsung lompat. "Don’t look for shortcuts. Jangan instan, ojo kesusu,” katanya.

Itu tidak pantas.

Di dunia politik dikenal adanya fatsun politik, artinya kesantunan politik atau etika politik.

Kita sering mendengar bahwa politik itu kotor. Tetapi yang menjadikannya kotor sebenarnya adalah manusia yang berpolitik. Padahal politik itu juga punya etika.

Lalu LKY digantikan oleh Goh Chok Tong sebagai Perdana Menteri di tahun 1990.

PM Goh mempercayakan beberapa jabatan penting kepada Lee Hsien Loong: sebagai salah satu deputinya, sebagai Chairman Monetary Authority of Singapore (Gubernur Bank Sentral) lalu Menteri Keuangan.

LKY membiarkan anaknya mencari pengalaman sebanyak-banyaknya dulu. Ia sabar. Anaknya juga sabar. Mereka menunggu 14 tahun sampai Lee junior matang.

Apakah 14 tahun adalah waktu yang panjang? Bagi LKY dan anaknya, itu adalah sebuah proses yang harus dilalui.

Tertulis di konstitusi Singapura bahwa seorang presiden harus berumur minimal 45 tahun. Untuk jabatan Perdana Menteri, entah berapa umur minimal. Tetapi seandainya ada aturannya pun, rasanya LKY tidak bakal setuju konstitusi diubah demi anaknya yang saat ia lengser masih berumur 38 tahun.

Ia adalah strongman saat itu. Ia pasti bisa, kalau ia mau. Tetapi ia mengerti fatsun politik, etika politik.

Setelah Lee Hsien Loong menggantikan Goh di tahun 2004, ia membuktikan bahwa seseorang yang jadi sesuatu karena sebuah proses memang punya kualitas.

Jika LKY masih hidup saat ini, mungkin ia akan mengernyitkan dahi melihat Indonesia, dimana seorang yang belum 3 tahun jadi walikota langsung melompat jadi cawapres.

***

Serpong, 3 Des 2023

Titus J.

Friday, September 29, 2023

Mother Teresa Itu Sudah Pergi

In Memoriam Elasa Noviani (20 Nov 1966 – 10 Sep 2023)

Sudah lebih dari 13 tahun saya mengenal Elasa (Ela).

Bukan sekadar mengenalnya, tetapi kami bersama-sama “nyemplung” dalam pelayanan di bidang yang sama selama bertahun-tahun.

Ketika saya dipercaya sebagai pemimpin redaksi majalah Nafiri GKY BSD sekitar tahun 2010-an, ada yang merekomendasikan nama Ela untuk masuk dalam staf redaksi. Saya tidak kenal Ela, tetapi ketika saya telepon dan saya ajak untuk bergabung di Nafiri, dia langsung bersedia.

Saya memberikan tugas-tugas penulisan, wawancara, dan mencari narasumber. Ia selalu bersemangat ketika menerima tugas apalagi wawancara tentang kesaksian jemaat, potret (mini biografi jemaat yang akan diangkat kisah hidupnya), dan serpihan perjalanan yang menceritakan pengalaman spiritualnya ketika ia dalam perjalanan ke suatu tempat (dalam rangka business trip, liburan, atau ketika ia pelayanan ke tempat-tempat kumuh dan kaum marginal).

Di situlah Ela menunjukkan komitmennya.

Tak pernah suatu tugas tak selesai. Ia rela melek hingga larut malam untuk menulis agar terhindar dari deadline.

Suatu hari ia mengusulkan untuk mewawancarai Pdt. Yakub Susabda untuk halaman “Thought” (segmen ini mengupas pemikiran tokoh-tokoh Kristen di Indonesia dari segala bidang) dan disajikan dalam bentuk tanya-jawab.

“Ela yakin bisa kontak Pdt. Yakub Susabda dan memastikan beliau mau diwawancarai untuk Nafiri?” tanya saya. Saat itu saya ragu karena sebagai Rektor STTRI, Pdt. Yakub pasti sibuk sekali.

“Aku tanya dulu ya.. tapi yakin dia pasti mau, hehehe,” jawabnya dengan tertawa. Setelah itu dia sebut bahwa Pdt. Yakub adalah Om-nya. Oalah, saya baru tahu.

Saya datang ke kampus STTRI ditemani dengan Ela, Pak Anton, dan Pak Yahya. Hari itu Ela semangat sekali, bahkan ia bela-belain mengajukan cuti agar jadwal wawancara dengan Pdt. Yakub tidak terganggu urusan pekerjaan.

Sejak moment bersama dengan Pdt Yakub itulah, setelah itu Nafiri terus menyajikan tokoh-tokoh Kristen (bukan hanya pendeta, tetapi juga tokoh politik, hukum, sosial, dsb) untuk diwawancarai agar pemikirannya dapat menjadi berkat bagi pembaca.

Beberapa waktu kemudian Ela mengusulkan untuk mewawancarai Christianto Wibisono (seorang tokoh politik dan bisnis, pendiri PDBI, penulis di surat kabar, anggota komite ekonomi nasional – beliau meninggal dunia tahun 2021). Lagi-lagi saya tanya Ela apakah beliau mau? Dan lagi-lagi Ela tertawa dan menjawab bahwa Pak Christ itu juga Om-nya.

Saya berpikir Ela ini keluarga besarnya berisi orang-orang hebat ya? Tapi sikapnya yang humble itu telah mengajari saya tentang arti kerendah-hatian.

Ketika saya sudah 3 tahun bertugas sebagai pemimpin redaksi, saya mengusulkan Ela untuk menggantikan saya. Ela langsung menolak. “Aku tuh suka nulis saja, jangan disuruh jadi leader,” katanya. “Pokoknya Titus kasi aja tugas apapun akan aku kerjakan, asal bukan sebagai pemred,” katanya lagi.

Lalu atas usul Pak Feri (Irawan) dan tim redaksi, Ela ditunjuk sebagai wakil saya (wapemred). Akhirnya dia bersedia. Tapi saya bilang, “Ok jadi wakil selama setahun atau paling lama dua tahun ya, setelah itu harus jadi pemred.”

Ela membuktikan sebagai wapemred pun ia sangat committed dan penuh dedikasi, bahkan setelah ia akhirnya bersedia sebagai pemred 2 tahun kemudian, ia tunjukkan pengabdiannya itu dengan tidak pernah itung-itungan.

Masa itu Nafiri selalu terbit rutin 3 bulanan (4x dalam setahun). Dan untuk menjaga komitmen terbit tersebut, Ela tak bosan-bosannya “mengejar-ngejar” dan “menagih” para penulis maupun tim desain untuk menyelesaikan tepat waktu.

Mengingat waktu itu Nafiri masih terbit cetak (hard copy), Ela selalu minta spare beberapa puluh eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan teman-temannya, lalu ia “membayar” sebagai ganti ongkos cetak ke kas Nafiri/Gereja. Hal ini bagi saya merupakan ethic yang ia tunjukkan.

Ia pernah bercerita betapa ia bersyukur sekali kepada Tuhan yang “mencemplungkan” dirinya di Nafiri, karena di bidang pelayanan ini ia merasa “klik” alias pas banget dengan apa yang selama ini ia cari.

Dalam beberapa kesempatan ketika Nafiri mengadakan outing ke luar kota, atau pas sedang kongkow-kongkow (sambil rapat) dimana saja, ia menunjukkan sifatnya yang so generous. Ia suka mentraktir kami.

Bukan hanya di lingkungan gereja, di rumahnya ia membantu satu keluarga dari desa seperti layaknya “mengadopsi” mereka (Kesaksian ini pernah ditulis Ela, cerita tentang Riki dan Painem) yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri sampai sekarang.

Di kantor banyak sekali cerita tentang sifat dermawannya Ela, sampai suatu kali ia keceplosan bilang, “Teman-teman kantorku memanggilku Bunda Teresa, hehehe…”

Saya yakin ia tidak bermaksud sombong, tetapi ia memang suka spontan sehingga terkadang tidak sadar kepolosannya itu.

Sejak saat itu, saya, Pak Anton dan Pak Yahya suka menggodanya dengan menyebutnya “Mother Teresa dari Serpong”.

Sering sekali kalau ia baru bepergian, ia pulang membawakan oleh-oleh untuk saya dan diantarkan oleh Riki ke rumah saya. Ia juga sering memberi buku-buku bagus kepada saya. Kebiasaan Ela kalau membeli buku itu tidak cukup 1, tetapi beberapa untuk dibagikan ke teman-teman.

Setelah beberapa tahun sebagai Pemred Nafiri, Ela pun turun agar terus terjadi regenerasi di Nafiri. Selanjutnya ia dipercaya sebagai Ketua Smyrna Café. Ini adalah bidang pelayanan yang sangat berbeda dengan Nafiri.

Suatu hari Ela bilang ke saya, “Aku tidak bisa di Smyrna. Sudah beberapa bulan ini jalan, tapi sebagai Ketua kok rasanya aku belum berbuat apa-apa ya?”

“Sabar.. namanya baru pegang, pasti ada waktunya belajar dan penyesuaian,” jawab saya.

“Tapi Tus… aku takut kalau aku ngga performed,” jawabnya.

Rupanya itulah yang menjadi concern utamanya. Dalam setiap pelayanan, Ela ingin selalu performed atau memberi yang terbaik. Ia risau jika pelayanan yang ia lakukan tidak maksimal. Saat itu saya menyemangatinya agar terus maju, dan saya katakan bahwa saya akan mendampingi sampai ia siap dilepas.

Selama Ela menjadi Ketua Smyrna, training-training barista banyak sekali diadakan. Jumlah barista saat ini sekitar 50 orang yang terbagi dalam 8 – 9 group, dan setiap hari minggu Smyrna memproses “order” paling sedikit 140-150 cup, bahkan pernah hampir 200.

Belakangan Ela sudah makin bersemangat mengurus Smyrna, salah satunya karena melihat semangat para barista yang melayani setiap hari Minggu, juga antrian yang panjang setiap kali usai kebaktian.

Bukan saja soal pelayanan, Ela suka ngobrol dan tanya soal-soal teknologi kepada saya, karena ia merasa gaptek.

Menjelang akhir tahun lalu, saat saya sedang mengoprek problem MacBook-nya yang ia pakai kerja, saya bilang, “Udahlah Ela.. istirahat aja di rumah.. mau cari apa lagi sih kok masih sibuk kerja?”

Saya tahu Ela sudah pensiun tapi oleh perusahaannya diperpanjang dengan kontrak. Saya yakin Ela tidak mengejar finansial, karena suaminya, Pak Johanes adalah orang yang sukses sebagai Presiden Direktur Santika Hotel & Resort.

“Hehe, enggaklah, wong masih kuat. Lagian kan perusahaan yang nawarin..,” jawabnya.

Kata “perusahaan yang nawarin” itu mengingatkan saya soal perjalanan karirnya. Ela cukup lama berkarir di Clariant (perusahaan kimia terkemuka dunia) dan menjadi andalan. Selepas itu ia ditarik masuk Croda (juga perusahaan kimia terkemuka dunia) sampai ia pensiun, dan ia tetap dipakai hingga saat ini.

Saya kira tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakan orang yang sudah pensiun kecuali memiliki sesuatu yang penting. Dan perusahaan tempat Ela bekerja sudah menemukannya dalam diri Ela, di antaranya adalah ethos kerja, integritas, performance dan komitmen.

Benar, perusahaan tidak akan menyesal telah merekrut Ela. Gereja pun juga akan sangat beruntung jika yang masuk dalam pelayanan adalah orang-orang seperti Ela, yang masih memiliki hati yang risau jika ia tidak performed, jika ia tidak mengerjakan bagiannya dengan maksimal.

Kita ingin memiliki teman seperjuangan baik di kantor ataupun di gereja seperti Ela.

Maka semalam sekitar jam 11.30pm ketika saya bersiap hendak naik ke tempat tidur, berita yang berseliweran melalui WhatsApp sungguh seperti petir di siang bolong, yang lalu meremas-remas hati dan mengaduk-aduk pikiran. Benarkah Ela secepat ini pergi meninggalkan kita?

Betapa banyak di antara kita yang begitu kehilangan, dan terkenang akan kebersamaan dan persahabatan yang terjalin dengan Ela.

“Tugasnya telah selesai, tangannya telah cukup banyak mengerjakan,” kata Tuhan.

Kita ingin sepakat dengan apa kata Tuhan, tetapi mungkin bagi kita rasanya tak kan pernah cukup untuk melihat tangan Ela terus bekerja bagi kebaikan di dunia ini, seperti tangan Mother Teresa of Calcutta.

Selamat jalan, Ela.

***

Serpong, 11 Sep 2023

Titus J.

Saturday, August 19, 2023

How The Killing of Jesus Taken Place

This book is not a religious book as said by the authors, Bill O’Reilly and Martin Dugard, but a history. Thus, despite they are both Roman Catholics who were educated in religious schools, they wrote this book more from the historical point of view than Christianity faith. They refrain of mixing the story with divine things despite a lot of stories and words are taken from the Bible.

In this book, the authors do not address Jesus as Messiah, but as a man who was preaching about peace and love, His standpoint as opposition of the religious leaders for which had made Him as the most wanted enemy of Sanhedrin, and, how the plot to kill Him was planned.

The story about Jesus (and killing Jesus) of course will not be completed without looking at the Roman empire domination in the land of Israel prior to Jesus birth, as we can see in this book how the emperor governed the defeated land; from Julius Caesar until Caesar Augustus under whom baby Jesus born, then Emperor Tiberius who ruled the Roman when Jesus was killed.

Not only were the Roman emperors, but several important figures surrounding the killing of Jesus also being told such as Pontius Pilate, Herod Antipas as well as Caiaphas.

The Roman rule with the crucifixion –as the most brutal and terrifying punishment in the world history—was imposed to Jesus as written so detail by the authors. This part will make us take a deep breath.

The authors who are also historical investigators are supported by a lot of references as well as facts to build the story systematically and chronologically which make the book is worth to read.

The last chapter of the book tells about Jesus’s tomb, the third day since Jesus’s death when Mary Magdalene visited the tomb. As Mary approached the tomb, she was stunned. She stepped forward, looked inside and smelled the myrrh and aloe. She saw the linen shroud but found nothing. “To this day, the body of Jesus of Nazareth has never been found,” the authors close the story.

This book indeed a history, not a religious book.

***

Serpong, 19 Aug 2023

Titus J.

Saturday, July 22, 2023

Bush - Good or Bad?

Despite this book has been acclaimed as a fair assessment of Bush’s presidency, the author seems not able to hide the sharp criticism tone towards the 43rd president of America.

“Rarely in the history of the United States has the nation been so ill-served as during the presidency of George W. Bush,” wrote the book opening remarks.

This book tells Bush’s story from his youth, his time at schools and university, his professional career as well as political career.

This book also shows foreign policy of America was not in good hands under Bush administration, especially the global war that he declared post 9/11.

No wonder indeed, during the presidential election, George W. Bush once expressed his interest in the presidency and confessed his lack of knowledge about foreign affairs.

In chapter 9, under the title “Asleep at the Switch”, the story tells how Bush was so relax prior to the 9/11 terrorist attack that shocked not only America but the entire world. It was several times that his intelligence unit a.k.a. CIA warned him about potential threat, but he was too reluctant to respond it seriously.

At the beginning of August, Bush and his wife, Laura, went to Crawford to spend a month at the ranch. This was the longest presidential vacation. At the ranch, he awoke everyday at 5:45, went to kitchen to make coffee, took his dogs outside to relieve themselves. While enjoying coffee he read newspapers, afterward he jogged, got a shower and changed of clothes, then started his daily intelligence briefing from the CIA.

Until 9/11, the Bush White House showed little interest in Al Qaeda or Osama Bin Laden. The White House even maintained that Iraqi terrorist threat was even greater. The CIA already reported that Bin Laden wanted to hijack U.S aircraft, however any warning about this always be declined.

On September 11th, when Bush was at Elementary School in Sarasota, Florida, while he was reading a story about The Pet Goat to students, his White House Chief of Staff stepped into the room and whispered into his ear about the planes that hit the WTC Twin Tower in New York. America was under attack.

The next chapters of the book tell about how Bush made a decision to strike Afghanistan to destroy Al Qaeda and capture Bin Laden. But, after the fall of Kabul, Bush decided to invade Iraq as he believed that Saddam Hussein possessed WMD. Despite challenges from many parties, he was adamant. “I am the commander. I don’t need to explain. I don’t feel like I owe anybody an explanation,” he said.

The WMD was never found in Iraq despite Saddam Hussein was overthrown, Bin Laden was never be captured during Bush presidency but later during Barack Obama’s.

Bush was re-elected as the president in 2005, however during his second term, his approval rating was declined deeply as written in chapter 18 “Perils of a second term”.

The biography written by Jean Edward Smith, a professor emeritus at the University of Toronto and a visiting scholar at several prominent universities in America.

In the closing remark, he wrote, “Whether George W. Bush was the worst president in American history will be long debated, but his decision to invade Iraq is easily the worst foreign policy decision ever made by an American president.”

***

Serpong, 21 Jul 2023

Titus J.

Tuesday, June 20, 2023

Nyalimu Pak!

“Saya ditakut-takuti, diancam, ada intelijen asing bergerak kalau kita ambil alih Freeport,” kata Presiden Jokowi dalam pertemuannya dengan Bara JP hari Minggu yang lalu.

Cerita Jokowi ini memang sepercik kisah dalam proses panjang pengambil-alihan saham Freeport dimana sebelumnya Indonesia cuma punya 9% saham saja. Jokowi maunya menjadi 51% sehingga bisa menjadi pengendali.

Bicara mengenai Freeport tidak bisa lepas dari sejarah dan politik. Dimulai tahun 1960an ketika Amerika Serikat mendukung dan mengakui bahwa Irian Barat adalah bagian dari wilayah kedaulatan RI. Titik itu merupakan pintu masuk kehadiran Freeport di Papua melalui Kontrak Karya yang ditanda-tangani oleh (alm) Presiden Suharto di tahun 1967. Tetapi bertahun-tahun Indonesia cuma punya saham yang kecil.

Setiap kali Indonesia mengajak berunding dengan Freeport, baik soal pembangunan smelter maupun soal peningkatan saham menjadi pemegang mayoritas, Freeport selalu berada di atas angin. Berbagai ancaman seperti akan membawa perkara ini ke arbitrase, PHK besar-besaran sampai penghentian produksi adalah “senjata” Freeport untuk tidak meladeni Indonesia. Terlebih lagi, CEO Freeport sebelumnya, Bob Moffett memiliki akses langsung ke Presiden. Jadi kalau ada sedikit ganjalan, Moffett langsung “mengadu” ke Presiden, dan hasilnya bertahun-tahun proses tersebut mentah.

Tapi Jokowi berbeda. Ia ngotot.

Ia tidak mau ketemu dengan CEO Freeport Richard Adkerson langsung. Ia tugaskan tiga Menterinya untuk negosiasi.

“Banyak sekali laporan ke saya bahwa kalau kita ambil alih Freeport, saya bisa jatuh sebagai Presiden,” cerita Jokowi.

“Lho kalau saya jatuh, ya jadi rakyat biasa dong.. wong sebelumnya saya juga rakyat kan?”

Proses yang panjang itu akhirnya membuahkan hasil pada tahun 2018. Indonesia bisa mengambil alih saham sebesar 42% lagi senilai USD 3,85 Milyar (setara dengan Rp. 56,1 Trilyun) sehingga total kepemilikan saham Indonesia adalah 51%.

Direktur Utama PT. Freeport Indonesia Tony Wenas mengungkapkan, bahwa apa yang kita bayarkan untuk membeli saham Freeport sebesar USD 3,85 Milyar itu akan segera balik modal di tahun 2024.

Proses itu tidak mudah, tetapi kita harus punya nyali,” kata Jokowi.

Bener, nyalimu itu Pak!

***

Serpong, 20 Jun 2023

Titus J.

Thursday, April 6, 2023

Pilatus: Ecce Homo!

*Renungan Jumat Agung*

Pilatus sedang berada di dalam gedung pengadilan. Ia menunggu kedatangan imam-imam dan para pemuka agama Yahudi. Kabarnya, mereka akan menghadapkan seorang pengacau kepadanya untuk diadili. Sebagai Gubernur Yudea ia berwenang mengadili perkara sebagai hakim tunggal. Keputusannya mutlak.

Pilatus sudah tahu. Beberapa hari lalu Orang yang disebut Yesus dari Nazaret ini membuat gempar kota Yerusalem ketika Ia memasuki kota dengan menunggang seekor keledai. Orang banyak menyebut-Nya raja.

“Hmmhh.. seorang raja menunggang keledai?” pikir Pilatus. Petugas intelnya juga memberi informasi kepadanya bahwa Orang ini sama sekali tidak berbahaya bagi Romawi. Tetapi Pilatus tahu bahwa kaum agama Yahudi menganggap-Nya pengacau karena dengki.

Belum sempat ia mencicipi anggur yang terhidang di atas meja, terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar gedung pengadilan. Tampaknya mereka sudah datang, katanya lirih pada diri sendiri.

“Orang ini menghujat Allah!” kata salah seorang imam sambil menarik Yesus ke tengah-tengah.

“Dan menurut hukum kami, Ia harus dihukum mati!” teriak imam yang lain.

Dilihatnya Kayafas berada di antara para imam itu. Jubahnya berkilau. Ia sibuk bicara, tangannya menuding dan mengepal, seperti tengah memberi instruksi kepada massa.

“Gila. Kaum fanatik!” pikir Pilatus. “Sepagi ini aku harus mengadili perkara dan menjatuhkan hukuman mati? Tidak! Sudah ada Barabas dan dua penjahat lain yang akan kugantung di Golgota pada hari ini,” katanya dalam hati. Wajahnya mengeras dan dahinya mengerut.

“Tuan! Tiga tiang salib sudah siap!” lapor komandan pasukannya.

Pilatus diam,

Di luar gedung massa makin banyak berdatangan. Suasana gaduh sekali.

Pilatus memberi isyarat dengan tangannya, lalu salah seorang prajurit yang berada di kerumunan menarik Yesus dan membawa-Nya memasuki gedung.

“Engkaukah raja orang Yahudi?” tanya Pilatus.

“Engkau sendiri yang mengatakannya,” jawab Yesus.

“Apa yang Engkau lakukan?”

Yesus diam.

Pilatus menuju balkon, menatap massa yang menantikan keputusannya.

“Ecce Homo!” (artinya: Lihat manusia itu!) teriak Pilatus sambil menunjuk ke arah Yesus.

“Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya!”

Tetapi teriakan Pilatus dibalas dengan teriakan massa dengan suara lebih keras, “Enyahkan Dia! Enyahkan Dia!”

Pilatus menghampiri Yesus.

“Apa jawab-Mu terhadap tuduhan-tuduhan mereka?”

Yesus tetap diam.

Pilatus heran. Semua orang yang dihadapkan kepadanya dan didakwa dengan tuntutan berat selalu berdalih bahwa mereka tidak bersalah. Tapi Orang ini diam saja.

“Tidakkah Kau tahu? Tidakkah Kau mengerti? aku…!!!”

Pilatus menepuk dadanya ketika kata ‘aku’ itu meluncur dari mulutnya.

Hening. Tak ada jawaban selain suara massa di luar gedung yang hiruk-pikuk.

“Aku! Dengar!” Pilatus mondar-mandir sambil menatap Yesus.

“Aku berkuasa membebaskan Engkau! Hmmhhh…,” Pilatus menahan kalimatnya sejenak.

“Dan aku juga berkuasa menyalibkan Engkau!”

Saat itulah Yesus, dengan suara yang parau dan pelan, menatap Pilatus, “Engkau tidak memiliki kuasa apapun terhadap Aku, jika kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas!”

Pilatus terhenyak.

“Siapa sesungguhnya Orang ini?” pikirnya. Ia langsung teringat apa yang dikatakan istrinya sebelumnya, “Jangan engkau mencampuri perkara Orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam.”

Tetapi pikirannya berkecamuk mendengar begitu banyak tuduhan yang dialamatkan kepada Yesus, apalagi massa yang berkumpul itu sudah mulai memprovokasi untuk memancing keributan.

“Bawa Barabas kemari!” perintahnya kepada komandan pengawalnya.

Beberapa saat kemudian, sang komandan datang menggelandang seseorang. Wajahnya keras, matanya nanar menatap sekeliling.

Seperti tersihir oleh kemunculan Barabas, massa terdiam.

Hening.

“Hari ini hari rayamu. Pilih! mana yang kamu kehendaki untuk kubebaskan?”

Orang Yahudi tidak bakal memilih Barabas. Mereka tak akan lupa kekejaman yang dilakukan oleh penjahat berbahaya ini, pikir Pilatus.

Ditatapnya wajah Barabas yang sangar itu, tegang, tetapi wajah Yesus yang lebam dan berdarah-darah itu tertunduk.

Udara panas berhembus keras dan menghamburkan debu di halaman gedung pengadilan.

Sunyi begitu mencekam.

“Bebaskan Barabas!” tiba-tiba sebuah teriakan muncul dari kerumunan massa memecah kesunyian.

Pilatus terkejut. Ia menajamkan telinganya.

“Bebaskan Barabas!” teriakan itu muncul lagi lalu disambung dengan teriakan-teriakan lain yang saling bersahutan: “Bebaskan Barabas! Bebaskan Barabas!”

Tak masuk akal! Pikir Pilatus. Mereka meminta penjahat kelas kakap itu dibebaskan?

Pilatus menatap Yesus. Ketika Yesus menoleh, mereka beradu pandang.

Apa yang sudah Kau lakukan? tanya Pilatus dalam hatinya. Di luar teriakan massa makin membahana menyebut nama Barabas.

“Bebaskan Barabas! Bebaskan Barabas!” teriak massa membalas.

“Apa yang harus kulakukan dengan Yesus?”

“Salibkan Dia!”

“Tetapi aku tidak mendapati kejahatan apapun pada-Nya!”

“Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Melihat emosi massa makin tereskalasi, Pilatus merasa usahanya untuk “mewaraskan” pikiran massa akan sia-sia.

Belum pernah selama ini, selama ia menjadi Gubernur, ada tuntutan massa agar ia melakukan substitusi terpidana mati.

Ia meminta komandan pasukannya mengambil baskom berisi air, lalu di hadapan massa ia mencuci tangannya.

Barabas pulang. Di rumahnya ia meminum anggur hingga ia mabuk.

Yesus berangkat memikul salib. Di Golgota darah-Nya diperas hingga Ia mati.

Pilatus meninggalkan gedung pengadilan dengan wajah tanpa ekspresi. Sesampainya di rumah, istrinya bertanya, “Darah siapa yang melumuri tanganmu?” Pilatus tidak menjawab. Ia berjalan ke kamar mandi untuk cuci tangan.

Istrinya hanya menggelengkan kepala.

***

Serpong, 6 April 2023

Titus J.

Friday, November 11, 2022

Bisakah Aku Mencintai-Mu, Tuhan?

“Oh God, I don’t love you, I don’t even want to love you, but I want to want to love you.” --Teresa of Avila

 

Tidak mudah untuk menolak cinta, ternyata.

Apalagi yang menyatakan cinta adalah Tuhan.

Banyak orang menghindari cinta Tuhan, menolak untuk mencintai Tuhan, dan tidak ingin mencintai Tuhan, bukan karena mereka orang jahat, tetapi karena cinta Tuhan adalah cinta yang paling sulit untuk dipahami.

Melibatkan diri dalam cinta Tuhan, barangkali bagi mereka, hanya membuang-buang waktu saja, karena toh tidak akan bisa memahaminya.

Bagaimana kita memahami cinta kepada seorang penjahat, penjahat yang selama hidupnya hanya berbuat jahat, tetapi pada satu menit terakhir sebelum ajal, kepadanya justru disediakan Firdaus tanpa perbuatan baik apapun yang pernah dilakukannya?

Bagaimana kita memahami cinta kepada seorang yang brutal dan ganas, yang menjadi penganiaya orang-orang yang berdoa kepada Tuhan, tetapi pada suatu ketika ia malah dipilih menjadi utusan-Nya, menjadi rasul-Nya?

Bagaimana kita memahami cinta kepada seorang pelacur, yang dianggap najis oleh para pemuka agama, yang oleh masyarakat ditempel label “perempuan berdosa”, tetapi justru kepada perempuan ini Ia menyatakan “dosamu sudah diampuni” hanya karena perempuan ini menuang minyak wangi di kaki-Nya dan menyekanya dengan rambutnya?

Dan bagaimana kita memahami cinta yang suatu ketika datang, mengetuk pintu rumah kita, lalu berkata, “Tubuhmu penuh luka, biarkan Aku membalutnya, merawatnya, dan memulihkannya.” Ia datang tanpa kita minta dan harapkan, lalu ketika kita menolak-Nya, Ia justru mengambil luka-luka kita, karena Ia tahu jika luka itu dibiarkan, maka kita akan mati. Lalu Ia mati oleh luka kita itu.

Sungguh sulit untuk menerima kenyataan cinta semacam itu, sehingga banyak orang memilih lebih baik tidak menanggapinya, apalagi membalas mencintai-Nya.

“Tuhan, aku tidak mencintai-Mu. Aku bahkan tidak ingin mencintai-Mu. Tetapi aku ingin mempunyai keinginan untuk mencintai-Mu,” kata Teresa dari Avila.

Keinginan untuk mencintai Tuhan, barangkali sudah lebih dari cukup, bagi orang yang sama sekali tidak pernah mencintai-Nya karena tidak bisa memahami cinta-Nya.

Alkisah, ada sebuah cerita kuno tentang anak durhaka.

Ah, bukan, bukan kisah tentang anak durhaka, tetapi tentang cinta seorang ayah.

Suatu hari, anak itu ingin pergi ke tempat yang jauh untuk bersenang-senang, pelesir, foya-foya. Dan untuk merealisasikan keinginannya, ia perlu sekarung uang. Ia tahu, ayahnya yang kaya raya akan memberi apa yang ia minta. Tetapi ia tidak mau hanya meminta uang secukupnya sebagai ‘sangu’ bepergian, atau sekadar uang untuk membeli tiket, hotel, makan, dan transportasi saja. Kurang banyak. Ia akan meminta warisan yang menjadi haknya.

Anak itu sudah lama menunggu ayahnya keluar dari kamarnya. Karena tak sabar ia pun mengetuk pintu.

"Aku minta warisanku sekarang, Ayah," kata anak itu. Betapa sebuah permintaan yang kurang ajar. Tersirat ia berharap ayahnya untuk lekas berpulang (karena warisan dibagi setelah orang tua meninggal, dengan sebuah wasiat).

Ayahnya hanya membatin dengan nelangsa, dan berpikir bahwa anaknya itu tidak mengerti apa yang ia perbuat. Tetapi karena cintanya maka ia pun masuk ke kamar, membuka brankas, lalu menyerahkan setengah dari kekayaannya kepada anaknya yang menunggu di depan pintu kamarnya dengan mata terbelalak. Setengah dari hartanya disimpan untuk anak satunya lagi.

Tanpa bicara apa-apa anak itu merenggut sekarung uang itu, lalu pergi. Ia menuju kota besar dan mengejar kenikmatan dengan mabuk, berjudi, dan bersenang-senang dengan perempuan, hingga suatu hari ketika ia merogoh karung uangnya, ia hanya menangkap angin. Ia membalik karung itu dan mengibaskannya, tetapi hanya debu yang tersisa.

Di kota yang ramai itu ia pun menggelandang. Usus perutnya yang terbiasa dengan makanan mewah mulai meremas-remas lambungnya. Ia mengemis kepada pemilik peternakan babi, tetapi bahkan ampas yang menjadi sisa makanan babi pun tak boleh ia cicipi untuk meredakan laparnya.

Maka teringatlah ia akan ayahnya, ayahnya yang sabar, ayahnya yang penuh pengertian. Teringatlah ia bagaimana mata ayahnya menatapnya dengan sendu ketika melepasnya pergi. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil. Batinnya bergolak antara pulang atau tidak. Tetapi tatapan mata ayahnya seakan memanggilnya, seperti berbicara, “Ayah tetap mencintaimu, Nak, segembel apapun keadaanmu.”

Di teras rumahnya itu ayahnya setiap hari menunggu.

Jika malam tiba, dan jalanan sudah kosong dan sepi, ayahnya menutup pintu seraya berharap tengah malam ada ketukan pintu. Ia akan melompat dari tempat tidurnya dan bergegas membukanya karena ia akan melihat wajah anaknya lagi. Juga di waktu pagi setelah ia bangun dari tidur, lekas-lekas dibukanya pintu rumahnya lebar-lebar, tanda bahwa hatinya juga begitu lebar untuk menyambut anaknya, bila anaknya pulang nanti.

"Ia tak kan kembali," kata tetangganya di sebelah kiri rumahnya.

“Lupakan saja anakmu, toh ia sudah kurang ajar kepadamu, bukan?” sahut tetangganya di sebelah kanan rumahnya.

“Benar, tidak ada ruginya hilang satu anak durhaka. Anggap saja seperti membuang telor busuk,” teriak tetangganya di seberang rumahnya.

Tetapi ayahnya bergeming. Hingga suatu sore ia melihat seseorang berjalan terseok-seok, berpakaian gembel. Tetapi dari jauh ayahnya sudah mengenalinya. “Tak salah lagi,” pikirnya. Ia melompat kegirangan seperti anak kecil.

Ayah yang sudah tua itu berlari. Ia lupa kasutnya ketinggalan di teras rumahnya. Ia juga lupa bahwa dirinya adalah orang kaya yang terhormat, yang pantang untuk berlari seperti itu karena akan dicibir orang. Tetapi ia tak peduli. Ia hanya ingin berlari karena tidak sabar untuk menjemput anaknya dan menumpahkan kerinduannya.

"Ampunilah aku, Ayah, aku sudah durhaka...," kata anaknya tersedu-sedu.

"Sudahlah, anakku," kata ayahnya sambil memeluknya, tak peduli bau gembel menyengat.

"Aku tak layak menjadi anakmu, Ayah. Aku pulang untuk menjadi orang upahanmu. Itu sudah cukup bagiku," katanya dengan tangis lebih keras.

"Jangan katakan begitu, Nak. Kau tetap anakku apapun keadaanmu," jawab ayahnya sambil menyapu air mata anaknya.

Anak itu seakan tak ingin melepaskan pelukan ayahnya.

"Ambilkan baju baru untuknya," perintah ayahnya kepada hamba-hambanya yang tertegun memandangi. Maka bergegaslah mereka melayani anak itu hingga ia selesai mandi dan berurap. Ayahnya lalu menyiapkan pesta.

Sesaat sebelum rebana ditabuh, ayahnya mengambil cincin termahal lalu mengenakannya pada jari manis anaknya itu.

Dipeluknya anak itu lagi, seakan belum tuntas ia menumpahkan kerinduannya yang sudah menumpuk. Pelukan ayah yang tua itu mengalahkan kedurhakaan. Ia begitu bersukacita, dan kepada siapapun ia selalu mengatakan, “Anakku yang hilang telah kembali, anakku yang mati telah hidup kembali.”

Anaknya yang sudah berdandan, wangi dan mengenakan cincin itu sudah kembali tinggal di rumah ayahnya. Ia kembali menikmati keindahan rumah bersama ayahnya. Ia menikmati cinta ayahnya yang bertimbun-timbun dan tak pernah habis.

Tetapi apakah ia memahami cinta ayahnya?

Bisakah ia membalas cinta ayahnya?

Memang tidak mudah untuk menolak cinta, apalagi yang mencintai adalah Allah. Karena kekuatan cinta-Nya akan terus memanggil-manggil, bahkan semakin kuat memanggil ketika kita semakin berdosa.

“Dan dimana dosa bertambah banyak, disana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Roma 5:20b)

***

Serpong, Nov 2022

Titus J.

Friday, August 26, 2022

Bukan Sekadar Soal Perempuan

Tiada seorang pun manusia di dunia ini yang kedekatannya dengan Tuhan melebihi Musa.

Jaraknya melebihi dekat. Sejarak nafas dengan hembusannya. Sejarak nadi dengan denyutannya.

Ia begitu intim dengan Tuhannya.

Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa keintiman-Nya dengan Musa melebihi nabi-nabi manapun.

“Aku bicara dengan nabi melalui penglihatan, melalui mimpi, tetapi dengan Musa aku bicara berhadap-hadapan. Hanya dia yang boleh memandang rupa-Ku,” kata Tuhan.

Itu adalah deklarasi oleh Tuhan saat terjadi sebuah insiden di padang gurun, ketika Musa memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir.

Kakak-kakak Musa, yaitu Miryam dan Harun, nge-gerundel tentang Musa yang memperistri perempuan Kush. Sebagian penafsir Alkitab mengatakan, perempuan Kush yang dimaksud ini adalah Zipora, anak seorang imam di Midian, bukan perempuan lain (Secara paras, orang Midian yang tinggal di padang pasir mirip dengan orang Kush). Tetapi penafsir yang lain mengatakan bahwa perempuan Kush ini bukan Zipora melainkan seorang perempuan dari tanah Afrika (sebuah wilayah antara Etiopia dan Sudan pada era modern sekarang).

Gerundelan Miryam dan Harun ini bukan sekadar obrolan ngalor-ngidul, dan apa yang mereka perbincangkan jauh daripada gerundelan soal perempuan. Mereka memandang rendah Musa sehubungan perempuan Kush itu. Kemudian muncullah niat yang kebablasan. Kudeta.

Upaya kudeta ini dipertegas dengan penulisan perikop di kitab Bilangan 12, dimana insiden itu diberi judul “Pemberontakan Miryam dan Harun”.

Mereka menganggap bukan cuma Musa yang sanggup menjadi pemimpin, tetapi mereka juga merasa bisa. Hal ini sebenarnya aneh, sebab gara-gara soal perempuan, mengapa yang disasar adalah jabatan Musa sebagai pemimpin? Sepertinya soal perempuan Kush itu hanyalah soal yang dicari-cari. Entah mengapa, Miryam dan Harun mengingini jabatan itu dan ingin merebutnya dari tangan Musa. Padahal mereka mengerti posisi Musa sebagai seorang yang ditunjuk oleh Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.

“Sungguhkah Tuhan berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" kata mereka. Berdua saja mereka bicara, seperti dua orang yang rasan-rasan (kasak-kusuk, membicarakan orang lain yang sedang tidak ada disitu).

Tetapi angin gurun yang berhembus membawa kabar itu. Dan rasan-rasan kedua kakaknya yang menyakitkan itu sampai juga ke telinga Musa. Tetapi Musa memilih diam. Ia tidak mau berkonfrontasi. Mengapa? karena hatinya teramat lembut.

“Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari semua manusia yang di atas muka bumi.” (Bilangan 12:3). Kalimat ini ditulis setelah kalimat gerundelan Miryam dan Harun itu.

Tampaknya Musa adalah seorang yang melankolis, yang tidak tertarik untuk berkonfrontasi. Maka Musa tidak ingin persoalan itu dibesar-besarkan. Ia kembali sibuk bekerja, menyelesaikan berbagai urusan bangsa Israel.

Barangkali Musa ingin berdoa kepada Tuhan, tetapi diurungkannya niatnya. Ia bukan type pengadu. Lagipula mereka adalah kakak-kakaknya sendiri. Jadi ia berharap persoalan itu akan selesai sendiri dengan mendiamkannya. “Semoga Tuhan tidak mendengar…,” demikian mungkin pikir Musa yang lemah-lembut.

Tetapi Tuhan mendengar.

“Keluarlah kamu bertiga ke kemah pertemuan!” perintah Tuhan kepada Miryam, Harun dan Musa.

Setelah ketiganya berkumpul, Tuhan turun dalam tiang awan.

Lengang. Tuhan hadir dengan wibawa-Nya yang tak terkatakan.

“Ada apa ini?” pikir mereka. Gemetar tubuh mereka. Tetapi gemetarnya Musa serasa berbeda dengan gemetarnya Miryam dan Harun. Gemetarnya Musa adalah karena respeknya kepada kebesaran Tuhan. Ia sudah biasa bertemu Tuhan, sedangkan gemetarnya Miryam dan Harun karena ketakutan setelah berbuat dosa.

Dan benar. Setelah Tuhan berdiri di pintu kemah itu, Ia hanya memanggil Miryam dan Harun (saja) untuk maju ke depan.

Lalu berfirmanlah Tuhan, "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, Tuhan menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi. Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku. Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa Tuhan." (Bilangan 12:6-8).

Derrrr!!! Firman Tuhan itu bagai gelegar petir yang menyengat hingga memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum.

Miryam dan Harun pucat pasi. Mungkin tubuh mereka ambruk ke tanah karena kaki mereka tiba-tiba lemas tak bertenaga.

Ngeri sekali.

Musa lebih daripada nabi, kata Tuhan sendiri. Sedangkan dengan nabi saja Tuhan hanya berbicara lewat penglihatan dan mimpi. Tetapi dengan Musa berbeda. Tuhan berbicara langsung, berhadap-hadapan, face to face. Tuhan memperkenankan Musa memandang wajah Tuhan.

Ingatkah kita cahaya wajah Tuhan yang penuh kemuliaan itu sampai “menular” ke wajah Musa ketika selama empatpuluh hari empatpuluh malam Musa berdua-duaan dengan Tuhan di atas gunung Sinai? “Ketika Musa turun dari gunung Sinai --kedua loh hukum Allah ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu-- tidaklah ia tahu, bahwa kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan Tuhan.” (Keluaran 34:29)

Itulah keintiman yang tak terkatakan antara Musa dan Tuhan. Keintiman itu begitu spesial bagi-Nya. Tuhan sangat mengerti bahwa Musa berhati lembut. Musa tidak bakal berubah menjadi ofensif. Maka Tuhan memutuskan untuk turun-tangan dan membelanya sedemikian rupa.

“Mengapakah kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa?” tanya Tuhan kepada Miryam dan Harun.

Kalimat Tuhan begitu tajam, menusuk amat dalam. Ada bobot kemarahan yang tertahan dalam kalimat itu. Ada murka yang meletup pada nada bicara-Nya. Tetapi sikap Tuhan begitu elegan.

Jadi, mungkinkah Tuhan begitu murka jika masalahnya cuma soal perempuan, urusan perempuan Kush itu belaka?

Miryam dan Harun lunglai di depan kemah pertemuan itu, gemetar, seakan-akan nafasnya berhenti menghembusi jiwanya dan darahnya berhenti mengaliri raganya.

Seandainya mereka mengerti keintiman Musa dengan Tuhan yang sedemikian itu.

Lalu Tuhan pergi. Tiang awan itu naik dari atas kemah, tetapi jejak wibawa Tuhan masih terasa di tanah.

Dan tiba-tiba sekujur tubuh Miryam memutih, penuh dengan kusta.

Ketika Harun melihat keadaan kakak perempuannya itu, maka melolonglah suara Harun penuh penyesalan.

“Ampunilah kebodohan kami, Tuan…,” Harun memohon belas kasihan kepada adiknya. Lututnya yang sudah tiada daya itu diseretnya mendekati kaki Musa.

Betapa lembutnya hati Musa. Betapa sabar. Ia tidak membusungkan dada atas pembelaan Tuhan di depan mata seluruh bangsa Israel. Ia tidak jumawa. Ia tidak sakit hati kepada kakak-kakaknya. Kelembutan hatinya bagai tangan yang suci menadahkan doa kepada Tuhan: “Sembuhkanlah dia ya Allah...”

Keintimannya dengan Tuhan menggapai tangan Tuhan seketika itu juga, dan Tuhan mengulurkan tangan-Nya. Lalu Tuhan menjawab, “Suruhlah ayahnya meludahi mukanya, dan biarkan dia dikucilkan dulu selama tujuh hari, baru setelah itu terimalah ia kembali.”

Seluruh bangsa Israel terpana.

Beberapa saat kemudian Harun membimbing Miryam menuju tempat karantina yang dikhususkan untuk orang-orang yang kena kusta.

Musa terdiam. Pikirannya menerawang tatkala dari jauh ia memandang kerudung Miryam yang melambai diterpa angin. Ia teringat cerita Yokhebed, ibunya, puluhan tahun yang lalu, tentang kakaknya itu, yang menjaganya ketika ia masih bayi, terapung-apung di dalam peti pandan di sungai Nil, hingga putri Firaun yang tengah mandi mengangkatnya dari dalam air.

Walau bagaimana pun, rasa sayangnya kepada kakaknya itu tidak pudar, hingga detik itu, hingga rambut sama-sama sudah ubanan dan kulit sama-sama sudah keriput.

Ia memohon kepada Tuhan untuk tidak berangkat dari tempat itu sebelum tujuh hari masa karantina Miryam berakhir. Dan ia pun menunggu dengan sabar.

Betapa lembutnya hatinya.

***

Serpong, Jul 2022

Titus J.

Pada Semerbaknya Bau Mur

*Renungan Jumat Agung* Pada malam itu, pada sesi pengambilan keputusan, Yusuf dari Arimatea mengangkat tangannya. Ia melihat sekeliling ru...