Sunday, May 4, 2025

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond.


Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go.


In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership.


In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory. 


During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years.


He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Lebanon when sectarian violence threatened to pull the country apart.


Eisenhower believed that the United States should not go to war unless national survival was at stake. When Britain, France and Israel invaded Egypt to seize the Suez Canal in 1956, he forced them to withdraw even threatening financial sanctions against Israel. When China threatened force against Taiwan, his Joint Chiefs recommended an immediate nuclear response, but he rejected the idea.


Domestically, Eisenhower tamed inflation, slashed defense spending, balanced the federal budget, and worked easily with a Democratic Congress despite being a Republican.


Eisenhower gave the country eight years of peace and prosperity. It doesn’t mean his presidential tenure was not without crises, but he managed crises without overreacting. He made every task he undertook look easy. No other president in the twentieth century can make the claim.


When he died on March 28, 1969, he was buried in a government-issue, eighty-dollar pine coffin, wearing his famous Ike jacket with no medals or decorations other than his insignia of rank.


***

Serpong, 4 May 2025

Titus J.


Vince Lombardi: Win By The Rules

Vince Lombardi was not only a sports figure. He transformed football into a metaphor of American experience, and he became a living legend, a symbol to many of leadership, discipline, perseverance, and teamwork.


The son of an Italian immigrant butcher, Lombardi struggled as a coach in high school and climbed as an assistant coach at Fordham, West Point, and the New York Giants. His leadership of the Green Bay Packers to five world championships in nine seasons is the most storied period in NFL history.


Every year Lombardi told his players that professional football was a cruel business.His jobs and theirs, he would say, depended on only one thing, winning, and the only way to win was to accept nothing less. 


The thing that people remember about Lombardi values as a coach is, that he did not believe in cheating to win, and he showed no interest in winning the wrong way, without heart, brains and sportsmanship. He did not encourage dirty play despite the violence of the game as he always insisted that football was “not a contact sport, but a collision sport”.


He was obsessed with winning, and that obsession led to unfortunate imbalances in other aspects of his life.


Lombardi was able to maintain his marriage life with his wife, Marie Planitz, although the marriage faced the typical challenges that come with the high-pressure world of professional sports. They committed to stay together for over 33 years. However, he failed to maintain his health.


He was diagnosed with colon cancer in 1970, and it rapidly progressed, but he continued to work and remain active in his role as the head coach of the Washington Football Team (then known as the Washington Redskins) until his health deteriorated significantly.


His death occurred on September 3, 1970, just a few months after his diagnosis. He was 57 years old - too young for the man who always showed discipline in every way.


Lombardi was remembered by his well-known phrase “Winning isn’t everything, it’s the only thing” which he explained: Being a part of a football team is no different than being a part of any organization such as army or political party. The objective is to win, to beat the other guy. Some may think this is a little bit cruel. I don’t think so. I do think that is the reality of life, the rules when they get into the game, and the objective is to win: fairly, squarely, decently, win by the rules, but still win.


Win by the rules, indeed, is rarely seen nowadays.


***

Serpong, 1 Apr 2025

Titus J.


Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” (Matius 7:14).

Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan.

Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway –walaupun sempit, hanya pas untuk satu busmemberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan.

Jesus way tidak seperti busway.

Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencari jalan menuju Kerajaan Surga, jalan menuju hidup yang kekal. 

Selama hidupnya dari masa kanak-kanak hingga pemuda itu, ia sudah mendapat doktrin bahwa perbuatan baik adalah syarat untuk mendapatkan hidup kekal. Ia sudah melakukannya dengan taat, istilah ekstremnya: dengan tidak bercela. Ia sudah mencoba jalan ini dan itu, jalur kesana dan kesitu, tetapi tampaknya ia kurang sreg dengan panduan rutenya. Kalau zaman sekarang, seperti kurang yakin dengan Google Map waktu berkendara.

Anak muda itu tidak puas dengan guru-gurunya yang ahli dalil kitab suci. Ia belum mendapat kepastian hidup kekal. Jadi ia terus mencari.

Kebetulan pas hari itu, Yesus lewat di daerahnya. Anak muda itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menemui Yesus, karena nama Yesus sudah tersiar kemana-mana sebagai seorang Guru yang bijak. Ia ingin bertanya apakah rute yang ditempuhnya sudah betul atau keliru.

Ketika Yesus masih jauh, anak muda itu tak sabar lagi. Ia datang berlari-lari kepada Yesus. Ia bukan hanya saleh, tetapi juga kaya-raya. Anak muda ini hebat sekali. Sudah saleh, kaya-raya pula. Kurang apa?

Tambah satu lagi: Ia terdidik dengan budi pekerti yang luhur, dan berjiwa mulia. Karena kemuliaan jiwanya itu ia mengerti tata-krama.  Ia memanggil Yesus dengan sebutan 'Guru', lalu bersujud di kaki-Nya sebagai tanda respeknya kepada Yesus. Attitude-nya luar biasa, dapat jadi teladan kehidupan masyarakat.

“Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” tanyanya.

Anak muda itu tentu setiap hari belajar kitab suci. Mungkin ia masih berumur 25an tahun. Tetapi sungguh istimewa, di usia semuda itu ia sudah menanyakan soal hidup kekal, sebuah topik yang tidak menarik bagi anak-anak muda karena merupakan masa yang masih jauh.

"Soal hidup kekal, hmm.. kau tentu tahu perintah Allah yang tertulis itu, bukan?" tanya Yesus. "Oh, semuanya itu telah aku lakukan, Guru," jawabnya dengan mata berbinar sambil memainkan jari-jarinya seperti menghitung: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzinah, hormatilah ayah-ibumu...

Yesus tersenyum dan menatap matanya dengan penuh kasih. Anak muda itu seperti murid yang berharap gurunya memberikan nilai 100, sempurna. Ia adalah anak yang saleh, yang terdidik dalam keluarga yang religius. Nilai 100 tampaknya pantas untuknya.

"Excellent! Tapi hanya satu kekuranganmu," kata Yesus. Anak muda itu terpana. 

“Hah, masih ada yang kurang?” tanya anak muda itu dalam hatinya. Ia mengingat-ingat lagi ayat demi ayat kitab suci yang selama ini menjadi panduannya, yang sudah dihafalkannya dengan sempurna, dan juga sudah dilakukannya dengan cermat. Guru-guru agamanya memujinya. Ayah-ibunya membanggakannya.

"Juallah seluruh hartamu, bagikanlah kepada orang-orang miskin, lalu ikutlah Aku," kata Yesus lagi.

Dan tiba-tiba senyap. Orang-orang yang berkerumun sambil menguping itu terkesiap. Mereka juga terkejut karena tidak mengharapkan jawaban seperti itu. Siapa yang tak kenal dengan anak muda itu? Ia begitu terpandang di masyarakat.

Raut muka anak muda itu terlihat kecewa. "Tak cukupkah kesalehanku dan amalku? Oh, seandainya aku tak bertanya soal ini kepada-Nya," begitu mungkin yang dipikirkannya. Ia benar-benar tidak menyangka mendengar jawaban Yesus.

Bagaimana mungkin kekayaannya yang sangat besar itu harus dijual dan dibagikan kepada orang-orang miskin? Bagaimana mungkin statusnya yang tinggi tiba-tiba dalam satu hari terbanting ke titik terendah sebagai orang yang tak berpunya, lalu menggelandang dan berjalan mengikut Yesus kemanapun Ia pergi?

Tetapi memang begitulah Jesus way, bukan hanya jalan sempit, tetapi jalan sempit yang menurun, jalan yang bergerak turun atau downward mobility. Jalan yang menurun ini menghancurkan kebanggaan, melepaskan keterikatan (belenggu) atas kecintaan terhadap segala sesuatu selain Tuhan. Hanya jalan menurun inilah jalan untuk sampai kepada hidup yang kekal.

Betapa banyak orang yang bangga karena sudah menjalankan perintah agamanya, tetapi benarkah mereka mencintai Tuhan lebih daripada segalanya? Yesus sangat jeli melihat. Ia melihat sampai kedalaman hati dan pikiran. Yesus tahu, sebenarnya anak muda itu datang kepada-Nya hanya untuk mendapatkan konfirmasi bahwa semua perbuatan baiknya sudah memenuhi syarat untuk memperoleh hidup yang kekal.

“Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.” (Matius 19:22).

Kesedihannya sebesar kecintaannya. Makin ia memperbesar cintanya kepada hartanya, makin besarlah kesedihannya karena tak rela semua itu hilang. Ia tak setuju menempuh Jesus way. Ia tak mau downward. Ia ingin tetap di atas, mempertahankan kebanggaannya, dan mencengkeram “dunianya” dengan erat.

Maka anak muda itu pergi dari hadapan Yesus. Ia pergi untuk mencari jawaban lain soal hidup kekal, kemanapun, kepada siapapun, ia akan terus mencari sampai menemukan jawaban sesuai dengan keinginannya, asal tak harus berpisah dengan dunianya (hartanya).

Yesus memandang punggung anak muda itu dari jauh dengan rasa iba. Ia tak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti-Nya. Ia hanya pernah berpesan, "Dimana hartamu berada, disitulah hatimu berada."

***
Serpong, Apr 2025
Titus J.

Tuesday, January 28, 2025

Deng Leads China to Great Leap

If there is no Deng Xiaoping, can China make its country as advanced as it is today?

Deng has made great transformation in China’s history, not only from a poor to prosperous country, but also from a closed-totalitarian to an open-modern country.


This book contains a lively portrait of the man, written by Ezra F. Vogel –a Professor of the Social Sciences Emeritus at Harvard and former Director of Harvard Fairbank Center for East Asian Research and the Asia Center.


Deng was at sometime a rising star under Mao Zedong but experienced being sidelined because of his stance as a revisionist and accused as a person pursuing the capitalist road. He was even completely stripped of all his positions and forbidden to take part in high-level party discussions and public meetings.


But not long after Mao’s death in 1976, under the leadership of Hua Guofeng, Deng returned to work and was officially returned to all positions he had held before. After that, Deng’s political career went up until he reached the top position.


Deng set a turning point and led China on the road to modernization. He opened the door for advanced countries like Japan, South Korea and the United States for economic cooperation and investment. Deng chose to be closer to Western Europe and America than Sovyet. He actively pursued development of science, technology and education. Deng sent thousands of Chinese students to study in the US.


In 1979 when Deng visited the US, he was warmly welcome by President Jimmy Carter. There was an interesting talk between the two leaders in the state banquet when Carter praised China for allowing Christian missionaries in building schools and hospitals in China. Carter also suggested that Deng allow the distribution of Bibles in China, a communist country.


Deng was considered an anti cult of personality. In contrast with Mao who happily indulged in, no statues of Deng were placed in public buildings and virtually no pictures of him hung in homes.


Despite a lot of achievement, the Tiananmen tragedy in 1989 tarnished Deng’s administration when student demonstrations were handled hardly by tanks, armored vehicles, and armed men.


But Deng Xiaoping is still remembered as the leader who transformed China, as we can see China today.


***

Serpong, 28 Jan 2025

Titus J.


Saturday, December 21, 2024

Pak Martin Hanya Melihat Promised Land Dari Jauh

Sudah sejak lama saya mengagumi Martin Luther King, Jr. (MLK), yang terkenal dengan perjuangannya melawan diskriminasi rasial dalam Civil Rights Movement di Amerika Serikat tahun 1960-an.

Hanya orang-orang pemberani yang akan berada di barisan depan melawan ketidakadilan dan kejahatan yang dilakukan oleh sebuah negara. Bayangkan, masa itu manusia dibedakan berdasarkan warna kulit: sekolah dibedakan untuk kulit putih dan kulit berwarna (sebut saja terus-terang dengan kulit hitam). Restoran dibedakan. Yang bukan kulit putih tidak boleh makan di restoran khusus kulit putih. Tempat duduk di bus dibedakan, bahkan toilet juga dibedakan. Orang kulit hitam tidak boleh kencing di toilet secara sembarangan, harus cermat melihat yang mana kloset bertulisan “Colored” dan yang mana bertuliskan “White”.

Dimanapun, dalam suatu keadaan yang represif, selalu ada pemberani yang tampil seperti MLK. Salah satu trigger bagi MLK untuk melawan adalah soal bus segregation itu. Pada tahun 1955 di Montgomery, Alabama, Rosa Parks nekat masuk bus dan sengaja duduk di bangku khusus white, lalu ia ditangkap dan diadili.

Hati MLK terbakar. Lalu kisah perjuangannya bergulir.

Maka ketika saya berkesempatan mengantarkan anak saya untuk studi (kuliah) di Amerika Serikat bulan Agustus yang lalu, saya langsung searching tempat bersejarah perjuangan MLK di Atlanta dan memasukkan kunjungan ke National Historical Park tersebut pada itinerary saya. Bukan suatu kebetulan tentunya (karena rencana Tuhan tak ada yang kebetulan) bahwa anak saya diterima di salah satu college di kota kecil di dekat Atlanta, Georgia. Jadi jadwal “menengok” MLK bagi saya adalah menu wajib.

Saya naik MRT (disana disebut MARTA – Metropolitan Atlanta Rapid Transit Authority) dari North Spring. Keretanya tidak sebagus MRT Jakarta. Mungkin karena gerbong kereta MARTA sudah beroperasi puluhan tahun sedangkan MRT Jakarta baru sekitar lima tahun. Harga tiketnya $5 untuk pergi-pulang (PP), tidak peduli sejauh apa jaraknya dan di stasiun mana kita turun, pokoknya bayarnya $5 untuk PP.

Menariknya, dari beberapa kali saya naik MARTA, penumpangnya begitu beragam: kulit putih (bule), black, asia, dan latin. Begitu diverse. Saya tanya mbah Google, secara demografi Georgia state berpenduduk 10 juta orang yang terdiri atas 50% kulit putih, 32% kulit hitam (African American), 10% Latin (hispanic), 5% Asia dan sisanya 3% ras lain-lain.

State yang lainnya di Amerika juga beragam walaupun komposisi rasnya berbeda-beda.

Melihat demografi tersebut, Amerika adalah sebuah ‘melting pot’ yaitu tempat berkumpulnya bangsa-bangsa dari seluruh dunia dengan beragam bahasa, tradisi dan budaya. Yang mengherankan adalah para imigran ini dapat hidup berdampingan, apalagi jika mereka sudah menjadi warga negara Amerika, mereka memiliki hak yang sama. Tidak heran, mereka yang menduduki posisi-posisi penting di perusahaan-perusahaan terkenal di Amerika berasal dari ras macam-macam. Tak terkecuali di pemerintahan pun, para pejabatnya dari ras yang sangat beragam. Ada yang mengatakan, memangnya di Amerika masih ada penduduk asli? Semua yang menginjak tanah Amerika dan hidup disana sekarang adalah para imigran, bahkan yang berkulit putih pun, mereka bisa saja imigran dari Irlandia, Jerman, Italia, Perancis, dan lain-lain.

Saya membaca beberapa referensi, keadaan tersebut bisa terjadi di Amerika karena ada yang mengikatnya, yaitu konstitusi. Apakah di sana tidak ada diskriminasi? Tentu masih ada, tetapi semua persoalan akan kembali kepada konstitusi. Semua orang harus taat kepada konstitusi karena konstitusi berada di atas siapapun, termasuk presiden (topik mengenai taat konstitusi ini menarik, tetapi tentang hal ini saya akan tulis di kesempatan lain jika memungkinkan).

Nah, kembali ke perjalanan saya naik MARTA untuk menengok MLK.

Dari North Spring saya sampai di Five Points interchange, lalu pindah jalur ke jurusan Indian Creek dan turun di stasiun King Memorial. Nama stasiun “King Memorial” ini memang merujuk kepada nama Martin Luther King, diberikan oleh pemerintah sebagai penghargaan kepada tokoh perjuangan ini.

Dari stasiun ini saya berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai di tempat MLK di Auburn Avenue.

Sesampainya di sana, saya disambut oleh receptionist lalu dijelaskan beberapa hal, kemudian ditunjukkan sebuah ruang teater yang sedang memutar film pendek tentang perjuangan MLK.

Yang menarik, track record MLK ini sebenarnya adalah di jalur teologi. Di umur 18 tahun ia sudah berkhotbah di Ebenezer Baptist Church di dekat rumahnya. Setahun kemudian, ia diteguhkan sebagai asisten pendeta di Ebenezer, di usia yang masih belia.

Setelah lulus BA di bidang sosiologi dari Morehouse College, ia justru melanjutkan studi di Crozer Theological Seminary di Chester, Pennsylvania. Setelah lulus, ia mengambil Ph.D di bidang teologi di Boston University. Sebelum lulus Ph.D di usia 26 tahun, MLK sudah di-pendeta-kan di Dexter Avenue Baptist Church di Montgomery, Alabama.

Di Montgomery inilah pemantik api menyulut rasa keadilannya, ketika Rosa Parks, yang duduk di bangku bus yang dikhususkan untuk golongan white, ditangkap dan ditahan atas tuduhan melanggar peraturan bus segregation di Montgomery.

Dr. King (demikian MLK dikenal setelah itu), lalu mempelopori bus boycott untuk memprotes kejadian itu. Setelah itu bola panas menggelinding kencang dan Dr. King dikenal sebagai civil rights leader di seantero negeri.

Perjuangannya dalam melawan diskriminasi rasial tidak lantas melupakan pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Justru pemahaman teologinya terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan atas hak hidup manusia makin mengobarkan semangatnya dan menginspirasinya untuk berjuang. Ia kemudian mendirikan SCLC (Southern Christian Leadership Conference) di tahun 1957 yang membuahkan hasil: Kongres Amerika Serikat mengesahkan undang-undang tentang hak-hak sipil yang pertama.

Beberapa tahun setelah Dr. King tinggal di Montgomery, ia kembali ke Atlanta dan menjadi asisten gembala di gereja Ebenezer. Dr. King kemudian membentuk SNCC (Student Nonviolent Coordinating Committee) sebagai wadah untuk mengkoordinir protes mahasiswa melawan diskriminasi rasial. Beberapa kali ia ditangkap bahkan dijebloskan ke penjara. Tetapi perlawanannya tidak redup. Ia mengajak pengikutnya untuk protes dengan cara damai. Inspirasi gerakan nonviolent tersebut diperolehnya dari teladan Yesus Kristus, juga dari Mahatma Gandhi, tokoh India yang melawan Inggris tanpa kekerasan.

Pidatonya yang terkenal yang ia beri judul “I have a dream” memukau banyak orang bukan hanya di Amerika bahkan dunia: “I have a dream that one day the country will live out the true meaning of its creed and make it a reality that all men are created equal,” serunya. Ia sampaikan mimpinya kepada dunia bahwa suatu hari kelak anak-anak akan hidup dalam masyarakat dimana mereka diperlakukan bukan berdasarkan warna kulit tetapi kualitas (isi kepala).

Di tahun 1964, hak-hak sipil yang diperjuangkannya berhasil dijadikan undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Lyndon B. Johnson. Dan di tahun itu pula Dr. King menerima hadiah nobel perdamaian.

Perjuangan Dr. King terhenti ketika ia ditembak saat berpidato di Memphis, Tanesse pada tanggal 4 April 1968. Tetapi api semangatnya terus dinyalakan secara estafet oleh para pengikutnya dan oleh siapapun yang meyakini hak atas kehidupan yang sama, yang equal sebagai manusia ciptaan Tuhan apapun warna kulitnya.

Di hari pemakamannya, Mahalia Jackson menyanyikan lagu “Precious Lord, Take My Hand”, sebuah lagu hymn yang telah dipesan jauh sebelumnya oleh Dr. King untuk mengiringinya apabila tiba waktunya ia pulang ke rumah Bapa di Surga.

Ketika saya pulang dari tempat Dr. King di Auburn Avenue itu, di dalam kereta MARTA saya berjumpa dengan banyak orang berkulit hitam yang tampan dan cantik, yang berpakaian rapi, anak-anak muda yang bercanda dan tertawa lepas, menenteng tas ransel (saya tebak mereka adalah mahasiswa karena kereta saya melewati Georgia State University) -- sebuah pemandangan yang mustahil dapat dilihat jika tidak ada seorang pemberani seperti MLK.

Bukan hanya itu, Amerika Serikat mencatat sejarah pernah dipimpin oleh seorang Presiden berkulit hitam, Barack Obama, sebuah pengakuan tentang persamaan hak, dimana setiap warga negara diperlakukan bukan berdasarkan warna kulit tetapi kualitas (isi kepala), sesuai yang diimpikan oleh MLK.

Mungkin mirip dengan kisah Musa, yang memimpin bangsa Israel ke luar dari Mesir menuju tanah perjanjian, Kanaan, tetapi tidak diijinkan oleh Tuhan untuk memasukinya dan hanya bisa melihat dari gunung yang jauh. "He allowed me to go up to the mountain,” kata MLK. “And I've looked over. And I've seen the Promised Land." Ia cukup mengantarkan saja, dan ikhlas tidak ikut masuk menikmatinya.

Setelah dua minggu saya berada di Amerika, ketika saya pulang, di bandara Hartsfield Jackson Atlanta International Airport, saya dibantu dengan ramah oleh dua orang wanita manis berkulit hitam petugas bandara. Sayangnya saya tidak bertanya namanya. 

Tapi ahh, tidak penting. Yang penting mereka (dan teman-temannya) sudah masuk ke “promised land”.

***

“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri', kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran. Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya." (Yakobus 2:8-10)

***
Serpong, 15 Okt 2024
Titus J.

Saturday, December 7, 2024

Are the Gospels Reliable to Reveal Jesus’ Identity?

This book is one of the best explanations towards critical questions about the Gospels and who Jesus of Nazareth is as it describes the aspects biblically, historically as well as theologically.


For a hundred years now, many people including scholars have questioned the truth of the Gospels, claiming that they were originally anonymous –countering what Christians believe was written by Matthew, Mark, Luke and John.


The other critical questions include: are the Gospels folklore or Jesus’s biographies? Did Jesus claim to be God? Did Jesus fulfill the Jewish prophecies of the Messiah? Why was Jesus crucified? What is the evidence for Jesus' resurrection?


The author of this book, Brant Pitre, Ph.D, a Professor of Sacred Scripture at Notre Dame Seminary in New Orleans, provides a meticulous presentation of the evidence about the reliability of the Gospels as well as Jesus' identity with very easy ways to understand. He demonstrates his ability of careful thinking and detailed research by digging the scriptures, manuscripts, and many sources, then arranging it systematically and contextually.


This book will prove to be a most effective weapon for the Christians in their struggle against skeptical attitudes towards the Gospels and Jesus’ divinity. Many Christians, sadly, leave the churches because they are not convinced enough that the Gospels are worth believing.


On the other hand, many people who do believe that Jesus is God often can’t explain why they believe it, and many people who think that Jesus was only a great teacher or prophet often haven’t looked carefully at exactly who the Gospels say he claimed to be. 


In this book, Dr. Pitre shows how the evidence for the truth of the Gospels is far stronger than is often assumed. The book is not only interesting, but also fascinating to be read by Christians and non Christians including the Agnostic and Atheist.


***

Serpong, 7 Dec 2024

Titus J.

Wednesday, November 27, 2024

Golda Meir Rears Her Cubs of Israel

Golda Meir was born as the daughter of a carpenter, but she died as a lioness.

Until the end of her life, she roared to protect her people and her country.


During her premiership tenure, she made crucial military decisions that helped save her country during wars, one of which was the most popular Yom Kippur war in 1973. She showed her strong character in fights against terrors, one of which was the attack on Israelis athletes in the Olympic Village in Munich by Black September terrorist group in 1972.


Despite the big name that got many praises from the Israelis people as well as the world political leaders, yet Golda Meir never took any credits for what she had made or claimed as her success. "I have a lot of faults," she said.


One of the most famous women in the world, winner of numerous awards, she lived unpretentiously in a small house that she shared with her son and his family in a middle class neighborhood. She lived in a modest style, cooked and prepared meals for her family, served guests with tea and homemade cookies, washed dishes, and cried for her children when they were sick.


David Ben Gurion, the first prime minister of Israel once said, "Golda is a great woman. But she is a woman!"


Golda was born in Kiev, Russia, on May 3, 1898, then several years later her father brought the family to Milwaukee, America where Golda grew and became an excellent student. After marriage, she was active in Jewish organizations mainly related to labor, which sharpened her sympathy towards people. In 1921, Golda decided to come back to her home country, and from there she made path to becoming a political leader.


From member of Knesset (house of representative), she climbed the ladder to Labor Minister (1949-1956), Foreign Affairs Minister (1956-1966), and Prime Minister of Israel (1969-1974).


She shared in building a state out of a vision and for nearly sixty years helped shape every aspect of that state, held many prestigious political positions, but for years she had rejected publishers' requests to write a book about her life. "What have I got to write about? the interesting things I won't tell, and what I can tell is not interesting," she said to hear colleagues.


"Nothing in life just happens. You have to have stamina to meet obstacles and overcome them, to struggle," she once said.


Golda died on Friday, December 8, 1978 at 80. Ten of thousands of people circled the coffin as it lay in state on the Knesset. She was buried in Mount Herzl Cemetery, Jerusalem - the burial plot of the Nation's Greats.


***

Serpong, 2 Nov 2024

Titus J.


Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becomi...