Sudah sejak lama saya mengagumi Martin Luther King, Jr. (MLK), yang terkenal dengan perjuangannya melawan diskriminasi rasial dalam Civil Rights Movement di Amerika Serikat tahun 1960-an.
Hanya orang-orang pemberani yang akan berada di barisan depan melawan ketidakadilan dan kejahatan yang dilakukan oleh sebuah negara. Bayangkan, masa itu manusia dibedakan berdasarkan warna kulit: sekolah dibedakan untuk kulit putih dan kulit berwarna (sebut saja terus-terang dengan kulit hitam). Restoran dibedakan. Yang bukan kulit putih tidak boleh makan di restoran khusus kulit putih. Tempat duduk di bus dibedakan, bahkan toilet juga dibedakan. Orang kulit hitam tidak boleh kencing di toilet secara sembarangan, harus cermat melihat yang mana kloset bertulisan “Colored” dan yang mana bertuliskan “White”.
Dimanapun, dalam suatu keadaan yang represif, selalu ada pemberani yang tampil seperti MLK. Salah satu trigger bagi MLK untuk melawan adalah soal bus segregation itu. Pada tahun 1955 di Montgomery, Alabama, Rosa Parks nekat masuk bus dan sengaja duduk di bangku khusus white, lalu ia ditangkap dan diadili.
Hati MLK terbakar. Lalu kisah perjuangannya bergulir.
Maka ketika saya berkesempatan mengantarkan anak saya untuk studi (kuliah) di Amerika Serikat bulan Agustus yang lalu, saya langsung searching tempat bersejarah perjuangan MLK di Atlanta dan memasukkan kunjungan ke National Historical Park tersebut pada itinerary saya. Bukan suatu kebetulan tentunya (karena rencana Tuhan tak ada yang kebetulan) bahwa anak saya diterima di salah satu college di kota kecil di dekat Atlanta, Georgia. Jadi jadwal “menengok” MLK bagi saya adalah menu wajib.
Saya naik MRT (disana disebut MARTA – Metropolitan Atlanta Rapid Transit Authority) dari North Spring. Keretanya tidak sebagus MRT Jakarta. Mungkin karena gerbong kereta MARTA sudah beroperasi puluhan tahun sedangkan MRT Jakarta baru sekitar lima tahun. Harga tiketnya $5 untuk pergi-pulang (PP), tidak peduli sejauh apa jaraknya dan di stasiun mana kita turun, pokoknya bayarnya $5 untuk PP.
Menariknya, dari beberapa kali saya naik MARTA, penumpangnya begitu beragam: kulit putih (bule), black, asia, dan latin. Begitu diverse. Saya tanya mbah Google, secara demografi Georgia state berpenduduk 10 juta orang yang terdiri atas 50% kulit putih, 32% kulit hitam (African American), 10% Latin (hispanic), 5% Asia dan sisanya 3% ras lain-lain.
State yang lainnya di Amerika juga beragam walaupun komposisi rasnya berbeda-beda.
Melihat demografi tersebut, Amerika adalah sebuah ‘melting pot’ yaitu tempat berkumpulnya bangsa-bangsa dari seluruh dunia dengan beragam bahasa, tradisi dan budaya. Yang mengherankan adalah para imigran ini dapat hidup berdampingan, apalagi jika mereka sudah menjadi warga negara Amerika, mereka memiliki hak yang sama. Tidak heran, mereka yang menduduki posisi-posisi penting di perusahaan-perusahaan terkenal di Amerika berasal dari ras macam-macam. Tak terkecuali di pemerintahan pun, para pejabatnya dari ras yang sangat beragam. Ada yang mengatakan, memangnya di Amerika masih ada penduduk asli? Semua yang menginjak tanah Amerika dan hidup disana sekarang adalah para imigran, bahkan yang berkulit putih pun, mereka bisa saja imigran dari Irlandia, Jerman, Italia, Perancis, dan lain-lain.
Saya membaca beberapa referensi, keadaan tersebut bisa terjadi di Amerika karena ada yang mengikatnya, yaitu konstitusi. Apakah di sana tidak ada diskriminasi? Tentu masih ada, tetapi semua persoalan akan kembali kepada konstitusi. Semua orang harus taat kepada konstitusi karena konstitusi berada di atas siapapun, termasuk presiden (topik mengenai taat konstitusi ini menarik, tetapi tentang hal ini saya akan tulis di kesempatan lain jika memungkinkan).
Nah, kembali ke perjalanan saya naik MARTA untuk menengok MLK.
Dari North Spring saya sampai di Five Points interchange, lalu pindah jalur ke jurusan Indian Creek dan turun di stasiun King Memorial. Nama stasiun “King Memorial” ini memang merujuk kepada nama Martin Luther King, diberikan oleh pemerintah sebagai penghargaan kepada tokoh perjuangan ini.
Dari stasiun ini saya berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai di tempat MLK di Auburn Avenue.
Sesampainya di sana, saya disambut oleh receptionist lalu dijelaskan beberapa hal, kemudian ditunjukkan sebuah ruang teater yang sedang memutar film pendek tentang perjuangan MLK.
Yang menarik, track record MLK ini sebenarnya adalah di jalur teologi. Di umur 18 tahun ia sudah berkhotbah di Ebenezer Baptist Church di dekat rumahnya. Setahun kemudian, ia diteguhkan sebagai asisten pendeta di Ebenezer, di usia yang masih belia.
Setelah lulus BA di bidang sosiologi dari Morehouse College, ia justru melanjutkan studi di Crozer Theological Seminary di Chester, Pennsylvania. Setelah lulus, ia mengambil Ph.D di bidang teologi di Boston University. Sebelum lulus Ph.D di usia 26 tahun, MLK sudah di-pendeta-kan di Dexter Avenue Baptist Church di Montgomery, Alabama.
Di Montgomery inilah pemantik api menyulut rasa keadilannya, ketika Rosa Parks, yang duduk di bangku bus yang dikhususkan untuk golongan white, ditangkap dan ditahan atas tuduhan melanggar peraturan bus segregation di Montgomery.
Dr. King (demikian MLK dikenal setelah itu), lalu mempelopori bus boycott untuk memprotes kejadian itu. Setelah itu bola panas menggelinding kencang dan Dr. King dikenal sebagai civil rights leader di seantero negeri.
Perjuangannya dalam melawan diskriminasi rasial tidak lantas melupakan pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Justru pemahaman teologinya terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan atas hak hidup manusia makin mengobarkan semangatnya dan menginspirasinya untuk berjuang. Ia kemudian mendirikan SCLC (Southern Christian Leadership Conference) di tahun 1957 yang membuahkan hasil: Kongres Amerika Serikat mengesahkan undang-undang tentang hak-hak sipil yang pertama.
Beberapa tahun setelah Dr. King tinggal di Montgomery, ia kembali ke Atlanta dan menjadi asisten gembala di gereja Ebenezer. Dr. King kemudian membentuk SNCC (Student Nonviolent Coordinating Committee) sebagai wadah untuk mengkoordinir protes mahasiswa melawan diskriminasi rasial. Beberapa kali ia ditangkap bahkan dijebloskan ke penjara. Tetapi perlawanannya tidak redup. Ia mengajak pengikutnya untuk protes dengan cara damai. Inspirasi gerakan nonviolent tersebut diperolehnya dari teladan Yesus Kristus, juga dari Mahatma Gandhi, tokoh India yang melawan Inggris tanpa kekerasan.
Pidatonya yang terkenal yang ia beri judul “I have a dream” memukau banyak orang bukan hanya di Amerika bahkan dunia: “I have a dream that one day the country will live out the true meaning of its creed and make it a reality that all men are created equal,” serunya. Ia sampaikan mimpinya kepada dunia bahwa suatu hari kelak anak-anak akan hidup dalam masyarakat dimana mereka diperlakukan bukan berdasarkan warna kulit tetapi kualitas (isi kepala).
Di tahun 1964, hak-hak sipil yang diperjuangkannya berhasil dijadikan undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Lyndon B. Johnson. Dan di tahun itu pula Dr. King menerima hadiah nobel perdamaian.
Perjuangan Dr. King terhenti ketika ia ditembak saat berpidato di Memphis, Tanesse pada tanggal 4 April 1968. Tetapi api semangatnya terus dinyalakan secara estafet oleh para pengikutnya dan oleh siapapun yang meyakini hak atas kehidupan yang sama, yang equal sebagai manusia ciptaan Tuhan apapun warna kulitnya.
Di hari pemakamannya, Mahalia Jackson menyanyikan lagu “Precious Lord, Take My Hand”, sebuah lagu hymn yang telah dipesan jauh sebelumnya oleh Dr. King untuk mengiringinya apabila tiba waktunya ia pulang ke rumah Bapa di Surga.
Ketika saya pulang dari tempat Dr. King di Auburn Avenue itu, di dalam kereta MARTA saya berjumpa dengan banyak orang berkulit hitam yang tampan dan cantik, yang berpakaian rapi, anak-anak muda yang bercanda dan tertawa lepas, menenteng tas ransel (saya tebak mereka adalah mahasiswa karena kereta saya melewati Georgia State University) -- sebuah pemandangan yang mustahil dapat dilihat jika tidak ada seorang pemberani seperti MLK.
Bukan hanya itu, Amerika Serikat mencatat sejarah pernah dipimpin oleh seorang Presiden berkulit hitam, Barack Obama, sebuah pengakuan tentang persamaan hak, dimana setiap warga negara diperlakukan bukan berdasarkan warna kulit tetapi kualitas (isi kepala), sesuai yang diimpikan oleh MLK.
Mungkin mirip dengan kisah Musa, yang memimpin bangsa Israel ke luar dari Mesir menuju tanah perjanjian, Kanaan, tetapi tidak diijinkan oleh Tuhan untuk memasukinya dan hanya bisa melihat dari gunung yang jauh. "He allowed me to go up to the mountain,” kata MLK. “And I've looked over. And I've seen the Promised Land." Ia cukup mengantarkan saja, dan ikhlas tidak ikut masuk menikmatinya.
Setelah dua minggu saya berada di Amerika, ketika saya pulang, di bandara Hartsfield Jackson Atlanta International Airport, saya dibantu dengan ramah oleh dua orang wanita manis berkulit hitam petugas bandara. Sayangnya saya tidak bertanya namanya.
Tapi ahh, tidak penting. Yang penting mereka (dan teman-temannya) sudah masuk ke “promised land”.
***
“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri', kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran. Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya." (Yakobus 2:8-10)
***
Serpong, 15 Okt 2024
Titus J.