*Renungan Jumat Agung*
Pada malam itu,
pada sesi pengambilan keputusan, Yusuf dari Arimatea mengangkat tangannya. Ia melihat
sekeliling ruangan. Tak ada tangan lain yang teracung ke atas.
Tidak. Ternyata
ia tidak sendiri. Tiba-tiba satu tangan lagi terangkat di barisan sebelah
kanan. Dilihatnya tangan Nikodemus tegak lurus ke atas. Saat itulah mereka
beradu pandang.
Dalam
perdebatan di sidang tadi, Nikodemus mempertanyakan, “Apakah hukum kita
menghukum seseorang sebelum didengar keterangannya terlebih dahulu?” Tetapi
sanggahan Nikodemus dan Yusuf tertelan oleh berbagai argumen yang dikemukakan
kebanyakan anggota sidang yang lebih pro Kayafas.
Yusuf dan
Nikodemus masih menunggu dan berharap ada tangan-tangan lain yang terangkat.
Ruang sidang sangat lengang sehingga jika ada jarum yang terjatuh akan
terdengar oleh setiap telinga.
Detik-detik
yang menegangkan itu tidak berlangsung lama, karena Kayafas, pemimpin rapat
sidang Sanhedrin itu, kemudian berbicara dengan suara berat, “Dua lawan enam
puluh sembilan. Keputusannya Si Penyesat itu harus dihukum mati. Kita akan bawa
Dia kepada Pilatus agar aspek legalnya terpenuhi.”
Tak ada
interupsi. Hanya suara-suara seperti lebah mendengung di seluruh ruangan.
Lalu Kayafas
mengetok palunya.
Para Rabi
kemudian bubar dan meninggalkan ruang sidang, kecuali Kayafas dan beberapa
orang Rabi saja.
Yusuf mendekati
Nikodemus. Ketika keduanya melangkah ke pintu keluar, mereka sempat mendengar
Kayafas yang sedang kasak-kusuk dengan beberapa Rabi itu. Lamat-lamat Yusuf dan
Nikodemus mendengar kata ‘penyergapan’ dan ‘Getsemani’. Entahlah. Keduanya berjalan
dengan perasaan campur-aduk: marah, sedih, dan takut.
Di seberang
jalan Yusuf mengucapkan salam kepada Nikodemus lalu mereka berpisah.
Sepanjang
perjalanan menuju rumahnya, Yusuf mengingat-ingat lagi semua perkataan Yesus
yang pernah didengarnya selama ia mengikuti-Nya. Sudah beberapa bulan terakhir
ia menetapkan hatinya untuk menjadi murid-Nya, tetapi secara diam-diam. Dalam
situasi seperti itu, memang lebih baik ia tidak terang-terangan, sebab ia tahu hampir
semua rekannya sesama anggota Sanhedrin membenci Yesus.
Satu-satunya
rekannya yang sepaham dengannya hanya Nikodemus. Dari Nikodemuslah ia mendapat
banyak pengajaran penting.
“Guru
mengatakan bahwa kita harus dilahirkan kembali untuk melihat Kerajaan Allah,”
kata Nikodemus kepadanya setelah percakapannya dengan Yesus di suatu malam.
Lalu Nikodemus
berbicara panjang-lebar.
Ia tidak begitu
mengerti apa yang Nikodemus paparkan, tetapi ia menangkap kesan bahwa rekannya
itu seperti mendapat pencerahan yang ia sendiri tak bisa mengartikannya. Ia pun
sama. Di dalam hatinya seperti ada sepercik api yang tiba-tiba meletup yang
membuat jiwanya tiba-tiba merasa haus dan lapar. Rasa haus dan lapar itu baru
terpuaskan setiap kali ia mendengarkan perkataan-perkataan Yesus.
“Ia bukan
manusia biasa,” bisiknya kepada Nikodemus di suatu hari ketika mereka bertemu
di bait Allah. Mereka sedang menyimak tanya-jawab antara Yesus dan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, yang di antaranya adalah rekan-rekan Yusuf
sendiri.
Tanya-jawab itu
begitu serunya. Mereka mencecar Yesus dengan berbagai pertanyaan soal asal-usulNya,
sesuatu yang tidak substansial sama sekali.
“Kami tidak
dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah,” kata mereka.
“Jikalau Allah
adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah.
Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus
Aku,” jawab Yesus.
“Kau ini
keturunan siapa? Kalau kami.. huh, kami adalah anak-anak Abraham.”
“Jika kamu
adalah anak-anak Abraham, kamu akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
dikerjakan oleh Abraham, dan kamu juga seharusnya bersukacita karena Aku, sebab
Abraham bersukacita telah melihat Aku.”
“Hah? Umur-Mu
masih semuda ini dan Engkau sudah melihat Abraham?”
“Sebelum
Abraham ada, Aku telah ada.”
Gegerlah
ruangan bait Allah itu. Kumpulan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu
hiruk-pikuk. Mereka tak dapat melanjutkan tanya-jawab itu karena emosional.
Belum pernah selama ini ada orang yang demikian lugas menjawab para pemuka
agama itu. Kebanyakan orang akan ciut nyalinya berhadapan dengan mereka.
Jangankan berhadapan, melihat jubah mereka yang panjang saja kebanyakan orang
akan gemetar, lebih baik menyingkir, karena jubah panjang mereka yang putih dan
berkibar-kibar itu seakan mengejek mereka sebagai orang berdosa.
Para pemuka
agama itu keluar dari bait Allah dan mengambil batu.
“Hmm..
orang-orang dungu,” pikir Yusuf. Ia hanya menonton dari jauh. “Kalah
argumentasi main batu,” pikirnya lagi sambil berjalan meninggalkan bait Allah.
Beberapa hari
kemudian terkejutlah Yusuf. Malam itu ia mendengar kabar bahwa Yesus telah
ditangkap di taman Getsemani.
“Tak keliru
telingaku ketika mereka kasak-kusuk sehabis sidang waktu itu,” pikir Yusuf.
Ia mengumpulkan
informasi dari beberapa orang, bahkan dari lingkaran dalam istana Pilatus yang
selama ini cukup dikenalnya dengan baik.
“Benar, tadi
malam sewaktu Ia berdoa,” kata seseorang.
“Kayafas
menyuap salah satu murid-Nya untuk memastikan mereka menangkap orang yang
tepat, karena di malam hari tidak mudah membedakan Dia dengan murid-muridNya,”
kata yang lain.
Dada Yusuf
berdegup kencang. “Hmm.. selalu ada pengkhianat di lingkaran terdekat,” pikir
Yusuf.
Semalam-malaman
itu Yusuf tak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang bakal terjadi
setelahnya. Ia ingin menghubungi Nikodemus tetapi malam sudah terlalu larut.
Pada malam itu
ia memperoleh info bahwa besok pagi Kayafas akan menggelandang Yesus menghadap
Pilatus untuk menuntut hukuman mati.
Keesokan
harinya pagi-pagi benar Yusuf sudah bersiap. Ia berjalan menuju ke gedung
pengadilan tempat orang menghadapkan terdakwa kepada Pilatus. Dari jauh, di
antara kerumunan orang Yusuf melihat Yesus dengan tangan terikat, wajah yang
babak-belur dan jubah yang robek sedang didorong-dorong oleh massa. Kayafas
berdiri di sebelah-Nya.
“Sepagi ini kau
datang, Kayafas? Siapa yang kau bawa?” tanya Pilatus.
“Jika Dia bukan
seorang penjahat, aku tidak akan membawa-Nya kepadamu,” jawab Kayafas.
“Ia menghujat
Allah!” teriak seseorang di antara kerumunan.
“Jika begitu,
adililah Ia menurut hukummu sendiri. Aku tidak sudi ikut campur!” kata Pilatus.
“Hukum kami
melarang kami untuk membunuh!” sergah Kayafas.
Yusuf mendengar
dengan jelas. “Licik! Ia memakai tangan Pilatus untuk membunuh. Munafik!”
pikirnya.
Hampir dua jam
pengadilan itu berlangsung. Pilatus mondar-mandir dan keluar-masuk gedung
pengadilan. Sementara itu massa makin banyak berkumpul di halaman.
Ketika matahari
makin tinggi dan halaman gedung itu makin hiruk-pikuk, Yusuf mendengar Pilatus
menjatuhkan vonis mati sambil mencuci tangannya. Mereka mengarak Yesus dengan
memikul kayu salib menuju bukit Golgota yang terletak di pinggiran kota
Yerusalem.
Darah Yusuf
mendidih. “Bukankah hukuman salib oleh Romawi hanya untuk para pembunuh dan pemberontak
negara?” tanyanya dalam hati. Ia berjalan pulang dengan hati yang hancur.
Menjelang
petang, Yusuf menguatkan tekadnya untuk menghadap Pilatus. Ia bermaksud meminta
mayat Yesus untuk diturunkan dari kayu salib. Sejenak hatinya galau, karena ia
ingat bahwa sebentar lagi Sabat, dan menjamah mayat tidak diperbolehkan menurut
hukum Taurat. Ah, peduli amat, najis biarlah najis, pikirnya. Ia bergegas
menemui Pilatus.
Cukup lama ia
berbicara dengan Pilatus. Lalu ia mengeluarkan sebuah kantong dari balik
jubahnya, dan diberikannya kepada Pilatus.
“Akan kau
kuburkan dimana mayat-Nya?” tanya Pilatus.
“Di bakal makamku
sendiri, sebuah gua batu yang telah aku siapkan,” jawab Yusuf.
“Kau cari orang
sendiri untuk membantumu menurunkan mayat-Nya. Prajuritku sedang bertugas
semua,” kata Pilatus mengakhiri pembicaraan.
Yusuf
mempercepat langkahnya menuju rumah Nikodemus. Hari semakin gelap ketika mereka
berdua sampai di Golgota. Disana mereka melihat Ibu Yesus dan Maria Magdalena masih
meratap di bawah tiang salib.
Mereka
menurunkan mayat Yesus lalu membawanya ke sebuah kompleks pekuburan orang-orang
kaya. Yusuf menunjuk makam miliknya sendiri yang belum pernah digunakan untuk
menguburkan orang. Di situlah mayat Yesus dibawa.
Setelah
meminyaki mayat-Nya dan mengafaninya, mereka membaringkan mayat-Nya di dalam.
“Terimakasih
atas kebaikan Tuan untuk Anakku…,” bisik Ibu Yesus lirih sambil mengisak.
Duka menyatu
dengan sepinya malam. Angin menghembuskan semerbak bau mur dan minyak gaharu.
Yusuf menghirup kematian Gurunya.
Mereka masih
lama berada di pekuburan itu, tidak peduli hari sudah memasuki Sabat.
*
“Orang
menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan makamnya di antara orang
kaya.” (Yesaya 53:9a)
***
Serpong, 28 Mar 2024
Titus J.