Wednesday, November 27, 2024

Golda Meir Rears Her Cubs of Israel

Golda Meir was born as the daughter of a carpenter, but she died as a lioness.

Until the end of her life, she roared to protect her people and her country.


During her premiership tenure, she made crucial military decisions that helped save her country during wars, one of which was the most popular Yom Kippur war in 1973. She showed her strong character in fights against terrors, one of which was the attack on Israelis athletes in the Olympic Village in Munich by Black September terrorist group in 1972.


Despite the big name that got many praises from the Israelis people as well as the world political leaders, yet Golda Meir never took any credits for what she had made or claimed as her success. "I have a lot of faults," she said.


One of the most famous women in the world, winner of numerous awards, she lived unpretentiously in a small house that she shared with her son and his family in a middle class neighborhood. She lived in a modest style, cooked and prepared meals for her family, served guests with tea and homemade cookies, washed dishes, and cried for her children when they were sick.


David Ben Gurion, the first prime minister of Israel once said, "Golda is a great woman. But she is a woman!"


Golda was born in Kiev, Russia, on May 3, 1898, then several years later her father brought the family to Milwaukee, America where Golda grew and became an excellent student. After marriage, she was active in Jewish organizations mainly related to labor, which sharpened her sympathy towards people. In 1921, Golda decided to come back to her home country, and from there she made path to becoming a political leader.


From member of Knesset (house of representative), she climbed the ladder to Labor Minister (1949-1956), Foreign Affairs Minister (1956-1966), and Prime Minister of Israel (1969-1974).


She shared in building a state out of a vision and for nearly sixty years helped shape every aspect of that state, held many prestigious political positions, but for years she had rejected publishers' requests to write a book about her life. "What have I got to write about? the interesting things I won't tell, and what I can tell is not interesting," she said to hear colleagues.


"Nothing in life just happens. You have to have stamina to meet obstacles and overcome them, to struggle," she once said.


Golda died on Friday, December 8, 1978 at 80. Ten of thousands of people circled the coffin as it lay in state on the Knesset. She was buried in Mount Herzl Cemetery, Jerusalem - the burial plot of the Nation's Greats.


***

Serpong, 2 Nov 2024

Titus J.


Saturday, November 2, 2024

Sebelum Lelaki Ketujuh

Tidak mungkin Yesus tidak sengaja lewat daerah Samaria. Tidak mungkin juga Ia terpaksa lewat daerah itu karena memilih jalur terpendek antara daerah Yudea dan Galilea. Yesus mempunyai tujuan khusus. Ia sengaja lewat situ.

Murid-murid Yesus pergi ke kota untuk membeli makanan. Yesus juga sengaja membiarkan mereka pergi, agar Ia sendiri. Yesus ingin sendirian. Ia memilih beristirahat di dekat sebuah sumur yang disebut sumur Yakub, sumur yang dahulu menjadi sumber air bagi Yakub untuk keluarganya dan ternak-ternaknya.

Rupanya Yesus sedang menunggu seseorang. Sepi sekali. Maklum, waktu menunjukkan sekitar pukul 12 siang. Tak ada orang menimba air di sumur itu di siang hari bolong. Orang-orang selalu datang di pagi hari, dan setelah menimba dan mengumpulkan air secukupnya untuk rumah tangganya, mereka bekerja dan beraktivitas.

Yesus menyeka peluh di wajah-Nya. Ia haus sekali. Beberapa saat kemudian yang ditunggu datang, seorang perempuan. Ia warga setempat, orang Samaria.

Perempuan itu cantik. Make-up wajahnya agak menor, dandanannya agak lain dibandingkan perempuan kebanyakan.

Lalu Yesus menyapanya.

Yesus menyapanya terlebih dahulu, seakan tidak peduli apa kata orang. Di zaman itu, orang Yahudi menganggap rendah orang Samaria. “Kafir lu!” demikian olok-olok orang Yahudi kepada orang Samaria. Orang Samaria pun membenci orang Yahudi yang dituduhnya merasa paling benar, paling taat kepada Taurat.

"Berilah Aku minum," pinta Yesus yang letih karena perjalanan. Perempuan itu kaget, karena baru kali ini ada orang Yahudi menyapanya dengan ramah.

Coba kita bayangkan. Biasanya seorang yang inferior akan merasa sangat tersanjung jika ada orang yang dianggap lebih superior menyapa terlebih dahulu apalagi meminta tolong. Misalkan seorang di kampung yang rumahnya sederhana, tiba-tiba didatangi oleh seorang pejabat tinggi dari kota, lalu sang pejabat tinggi ini minta menginap di rumah orang kampung itu, yang tidak punya tempat tidur empuk selain sebuah dipan dari bambu beralaskan tikar pandan. Bagaimana perasaan orang kampung itu?

Perempuan itu masih heran. Ia tidak menyangka ada orang Yahudi yang tidak jaim sama sekali meminta bantuannya. Bibirnya masih tertutup rapat, pikirannya penuh tanda-tanya. Bukan hanya yang menyapanya adalah orang Yahudi, tetapi juga seorang laki-laki. Pengalamannya selama ini, laki-laki akan menyapanya ketika hari sudah malam. Itu pun dengan sembunyi-sembunyi.  

Belum sempat pikirannya pulih dari kebingungan, Yesus mendesaknya, "Sebagai gantinya, Aku akan memberi kamu air hidup."

"Air? Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam," kata perempuan itu. Disapa oleh Yesus saja sudah mengagetkannya, apalagi Yesus minta air minum pula. Perempuan itu merasa dihargai. Ia merasa “diorangkan” (merasa “diwongke” - bahasa Jawa). Itulah sebabnya perempuan itu memberanikan diri menjawab si penanya (Yesus), bahkan berdialog. Sebelumnya mungkin orang Samaria akan pergi menghindar, tidak sudi bertemu dengan orang Yahudi, apalagi mengobrol.

"Hmmm.. Jika kau minum air dari sumur ini, kau akan haus lagi, tetapi air dari-Ku akan memuaskanmu, kau tidak akan haus lagi selamanya," jawab Yesus.

“Ah, kok kamu tau sih?” pikir perempuan itu. “Memang perkara air ini yang selama ini menyusahkanku, yang membuat aku terpaksa harus ke sumur ini setiap siang hari untuk menimba air,” pikirnya lebih lanjut.

"Oh, berikan aku air itu, Tuan, agar aku tak usah lagi datang ke sini," pintanya seraya mengingat betapa tertekan jiwanya akibat menjadi pergunjingan. Ia memilih jam-jam yang sepi di siang bolong untuk menimba air. Baginya lebih baik kulitnya disengat terik matahari daripada disengat gosip para perempuan.

Yesus yang tahu kehidupan kelam perempuan itu lalu menanyakan suaminya. “Baiklah, Aku akan berikan air itu, tetapi tolong panggil suamimu kemari,” kata Yesus.

Perempuan itu tampaknya sudah mulai merasa nyaman dalam dialognya dengan Yesus. Ia heran, orang Yahudi di depannya ini tidak menghinanya sama sekali.

"Ah, aku tidak mempunyai suami," jawabnya dengan nada menggoda. 

"Ohhh.. benar juga,” jawab Yesus. “Lima orang suamimu yang terdahulu sudah tidak bersamamu, dan sekarang kau tinggal bersama laki-laki yang bukan suamimu..."

Jleb! Perempuan itu shocked. Bagaimana orang di depannya ini bisa mengerti siapa dirinya? Ia sudah menaklukkan enam laki-laki dan kemungkinan akan ada lelaki ketujuh, kedelapan, kesepuluh, dan entah berapa lagi.

Tetapi ia mengakui bahwa jiwanya tetap gersang walaupun sudah enam laki-laki hidup bersamanya. Tetapi, bagaimana orang ini tahu begitu detail padahal ia bukan warga sini dan tidak pernah tinggal di daerah sini? Dan baru di sumur ini ia bertemu?

Di siang yang terik itu mukanya merah karena malu, tetapi ia tidak tersinggung walaupun Yesus menyentil ranah hidupnya yang paling privat.

Ia meninggalkan tempayan airnya lalu berlari pulang. Ia melupakan tempayan itu untuk mencari air di sumur Yakub, karena air yang sesungguhnya, yang ia butuhkan, telah menyiram jiwanya yang dahaga, yaitu air hidup yang dipancarkan oleh Yesus.

Sesampainya di tempat tinggalnya, perempuan itu menceritakan dengan antusias kepada orang-orang di kotanya tentang apa yang baru saja ia alami. Ia tak malu-malu dan tak menutup-nutupi aibnya karena aib itu telah digantikan dengan sebuah harapan tentang masa depan yang berbeda sama sekali.

Dulu jika ia berbicara tak pernah digubris oleh orang. Siapa yang mau mendengarkan perempuan yang memiliki reputasi seorang penggoda? Tetapi heran, kali ini semua warga mempercayai apa yang ia katakan: “Hei, aku bertemu dengan Seseorang yang mengetahui dan mengatakan segala sesuatu yang telah kuperbuat. Apakah Ia adalah Mesias?” 

Lalu warga kota itu berbondong-bondong datang menemui Yesus, bahkan meminta-Nya untuk tinggal di kota itu.

Perempuan itu mungkin menjadi sangat sibuk sebagai panitia acara selama dua hari Yesus tinggal di kota itu untuk mengajar dan berkhotbah. 

Perjumpaannya dengan Yesus telah mengubah hidupnya. Ia mengecap air yang Yesus berikan, dan sesudah itu tak ada laki-laki ketujuh yang menghampirinya.

Demikianlah Yesus membereskan dosa dengan cara-Nya yang sangat elegan. 

***

“Tetapi siapa yang minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai pada hidup yang kekal.” (Yohanes 4:14)

*

Serpong, 28 Sep 2024

Titus J.

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becomi...