Sunday, May 4, 2025

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond.


Before becoming the 34th president (two terms from 1953 to 1961), Ike –as he was called–  was a five-star general in the U.S. Army during World War II and served as Supreme Commander of the Allied Expeditionary Force in Europe. This book reveals the journey of the man who worked with incredible subtlety to move events in the direction he wished them to go.


In both war and peace, he gave the world confidence in American leadership.


In the war period, Ike commanded the largest multinational force ever assembled to fight German troops in leading the Western powers to victory. 


During his presidency, he ended a three-year war in Korea with honor and dignity. Not a single American died in combat for the next eight years.


He resisted calls for preventive war against the Soviet Union and China, faced down Khruschev over Berlin, and restored stability in Lebanon when sectarian violence threatened to pull the country apart.


Eisenhower believed that the United States should not go to war unless national survival was at stake. When Britain, France and Israel invaded Egypt to seize the Suez Canal in 1956, he forced them to withdraw even threatening financial sanctions against Israel. When China threatened force against Taiwan, his Joint Chiefs recommended an immediate nuclear response, but he rejected the idea.


Domestically, Eisenhower tamed inflation, slashed defense spending, balanced the federal budget, and worked easily with a Democratic Congress despite being a Republican.


Eisenhower gave the country eight years of peace and prosperity. It doesn’t mean his presidential tenure was not without crises, but he managed crises without overreacting. He made every task he undertook look easy. No other president in the twentieth century can make the claim.


When he died on March 28, 1969, he was buried in a government-issue, eighty-dollar pine coffin, wearing his famous Ike jacket with no medals or decorations other than his insignia of rank.


***

Serpong, 4 May 2025

Titus J.


Vince Lombardi: Win By The Rules

Vince Lombardi was not only a sports figure. He transformed football into a metaphor of American experience, and he became a living legend, a symbol to many of leadership, discipline, perseverance, and teamwork.


The son of an Italian immigrant butcher, Lombardi struggled as a coach in high school and climbed as an assistant coach at Fordham, West Point, and the New York Giants. His leadership of the Green Bay Packers to five world championships in nine seasons is the most storied period in NFL history.


Every year Lombardi told his players that professional football was a cruel business.His jobs and theirs, he would say, depended on only one thing, winning, and the only way to win was to accept nothing less. 


The thing that people remember about Lombardi values as a coach is, that he did not believe in cheating to win, and he showed no interest in winning the wrong way, without heart, brains and sportsmanship. He did not encourage dirty play despite the violence of the game as he always insisted that football was “not a contact sport, but a collision sport”.


He was obsessed with winning, and that obsession led to unfortunate imbalances in other aspects of his life.


Lombardi was able to maintain his marriage life with his wife, Marie Planitz, although the marriage faced the typical challenges that come with the high-pressure world of professional sports. They committed to stay together for over 33 years. However, he failed to maintain his health.


He was diagnosed with colon cancer in 1970, and it rapidly progressed, but he continued to work and remain active in his role as the head coach of the Washington Football Team (then known as the Washington Redskins) until his health deteriorated significantly.


His death occurred on September 3, 1970, just a few months after his diagnosis. He was 57 years old - too young for the man who always showed discipline in every way.


Lombardi was remembered by his well-known phrase “Winning isn’t everything, it’s the only thing” which he explained: Being a part of a football team is no different than being a part of any organization such as army or political party. The objective is to win, to beat the other guy. Some may think this is a little bit cruel. I don’t think so. I do think that is the reality of life, the rules when they get into the game, and the objective is to win: fairly, squarely, decently, win by the rules, but still win.


Win by the rules, indeed, is rarely seen nowadays.


***

Serpong, 1 Apr 2025

Titus J.


Jesus Way Tak Segampang Busway

Jesus Way yang diartikan “cara Yesus” atau “jalan Yesus” tampaknya berupa jalan sempit dan sedikit orang menyukainya/memilihnya. Ini pernah dikatakan oleh Yesus sendiri: “Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” (Matius 7:14).

Semua orang, atau sebagian besar orang, memilih jalan lebar tanpa hambatan agar sebisa mungkin lebih cepat sampai tujuan. Jalan sempit hanya memperlama waktu, tidak efektif, dan tidak sesuai tuntutan zaman yang serba cepat dan instan.

Sebenarnya jalan sempit tidak apa-apa asalkan lancar. Ternyata tidak. Jesus way bukan seperti jalur khusus bus atau busway di Jakarta. Busway –walaupun sempit, hanya pas untuk satu busmemberikan privilege karena dikhususkan untuk bus tanpa ada hambatan apapun. Ikut melaju di busway enak sekali, diprioritaskan, tidak ikut ngantri bermacet-macetan di jalan.

Jesus way tidak seperti busway.

Dulu ada kisah seorang anak muda yang kaya raya, yang sedang mencari jalan menuju Kerajaan Surga, jalan menuju hidup yang kekal. 

Selama hidupnya dari masa kanak-kanak hingga pemuda itu, ia sudah mendapat doktrin bahwa perbuatan baik adalah syarat untuk mendapatkan hidup kekal. Ia sudah melakukannya dengan taat, istilah ekstremnya: dengan tidak bercela. Ia sudah mencoba jalan ini dan itu, jalur kesana dan kesitu, tetapi tampaknya ia kurang sreg dengan panduan rutenya. Kalau zaman sekarang, seperti kurang yakin dengan Google Map waktu berkendara.

Anak muda itu tidak puas dengan guru-gurunya yang ahli dalil kitab suci. Ia belum mendapat kepastian hidup kekal. Jadi ia terus mencari.

Kebetulan pas hari itu, Yesus lewat di daerahnya. Anak muda itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menemui Yesus, karena nama Yesus sudah tersiar kemana-mana sebagai seorang Guru yang bijak. Ia ingin bertanya apakah rute yang ditempuhnya sudah betul atau keliru.

Ketika Yesus masih jauh, anak muda itu tak sabar lagi. Ia datang berlari-lari kepada Yesus. Ia bukan hanya saleh, tetapi juga kaya-raya. Anak muda ini hebat sekali. Sudah saleh, kaya-raya pula. Kurang apa?

Tambah satu lagi: Ia terdidik dengan budi pekerti yang luhur, dan berjiwa mulia. Karena kemuliaan jiwanya itu ia mengerti tata-krama.  Ia memanggil Yesus dengan sebutan 'Guru', lalu bersujud di kaki-Nya sebagai tanda respeknya kepada Yesus. Attitude-nya luar biasa, dapat jadi teladan kehidupan masyarakat.

“Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” tanyanya.

Anak muda itu tentu setiap hari belajar kitab suci. Mungkin ia masih berumur 25an tahun. Tetapi sungguh istimewa, di usia semuda itu ia sudah menanyakan soal hidup kekal, sebuah topik yang tidak menarik bagi anak-anak muda karena merupakan masa yang masih jauh.

"Soal hidup kekal, hmm.. kau tentu tahu perintah Allah yang tertulis itu, bukan?" tanya Yesus. "Oh, semuanya itu telah aku lakukan, Guru," jawabnya dengan mata berbinar sambil memainkan jari-jarinya seperti menghitung: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzinah, hormatilah ayah-ibumu...

Yesus tersenyum dan menatap matanya dengan penuh kasih. Anak muda itu seperti murid yang berharap gurunya memberikan nilai 100, sempurna. Ia adalah anak yang saleh, yang terdidik dalam keluarga yang religius. Nilai 100 tampaknya pantas untuknya.

"Excellent! Tapi hanya satu kekuranganmu," kata Yesus. Anak muda itu terpana. 

“Hah, masih ada yang kurang?” tanya anak muda itu dalam hatinya. Ia mengingat-ingat lagi ayat demi ayat kitab suci yang selama ini menjadi panduannya, yang sudah dihafalkannya dengan sempurna, dan juga sudah dilakukannya dengan cermat. Guru-guru agamanya memujinya. Ayah-ibunya membanggakannya.

"Juallah seluruh hartamu, bagikanlah kepada orang-orang miskin, lalu ikutlah Aku," kata Yesus lagi.

Dan tiba-tiba senyap. Orang-orang yang berkerumun sambil menguping itu terkesiap. Mereka juga terkejut karena tidak mengharapkan jawaban seperti itu. Siapa yang tak kenal dengan anak muda itu? Ia begitu terpandang di masyarakat.

Raut muka anak muda itu terlihat kecewa. "Tak cukupkah kesalehanku dan amalku? Oh, seandainya aku tak bertanya soal ini kepada-Nya," begitu mungkin yang dipikirkannya. Ia benar-benar tidak menyangka mendengar jawaban Yesus.

Bagaimana mungkin kekayaannya yang sangat besar itu harus dijual dan dibagikan kepada orang-orang miskin? Bagaimana mungkin statusnya yang tinggi tiba-tiba dalam satu hari terbanting ke titik terendah sebagai orang yang tak berpunya, lalu menggelandang dan berjalan mengikut Yesus kemanapun Ia pergi?

Tetapi memang begitulah Jesus way, bukan hanya jalan sempit, tetapi jalan sempit yang menurun, jalan yang bergerak turun atau downward mobility. Jalan yang menurun ini menghancurkan kebanggaan, melepaskan keterikatan (belenggu) atas kecintaan terhadap segala sesuatu selain Tuhan. Hanya jalan menurun inilah jalan untuk sampai kepada hidup yang kekal.

Betapa banyak orang yang bangga karena sudah menjalankan perintah agamanya, tetapi benarkah mereka mencintai Tuhan lebih daripada segalanya? Yesus sangat jeli melihat. Ia melihat sampai kedalaman hati dan pikiran. Yesus tahu, sebenarnya anak muda itu datang kepada-Nya hanya untuk mendapatkan konfirmasi bahwa semua perbuatan baiknya sudah memenuhi syarat untuk memperoleh hidup yang kekal.

“Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.” (Matius 19:22).

Kesedihannya sebesar kecintaannya. Makin ia memperbesar cintanya kepada hartanya, makin besarlah kesedihannya karena tak rela semua itu hilang. Ia tak setuju menempuh Jesus way. Ia tak mau downward. Ia ingin tetap di atas, mempertahankan kebanggaannya, dan mencengkeram “dunianya” dengan erat.

Maka anak muda itu pergi dari hadapan Yesus. Ia pergi untuk mencari jawaban lain soal hidup kekal, kemanapun, kepada siapapun, ia akan terus mencari sampai menemukan jawaban sesuai dengan keinginannya, asal tak harus berpisah dengan dunianya (hartanya).

Yesus memandang punggung anak muda itu dari jauh dengan rasa iba. Ia tak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti-Nya. Ia hanya pernah berpesan, "Dimana hartamu berada, disitulah hatimu berada."

***
Serpong, Apr 2025
Titus J.

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becomi...