
Apakah anda punya teman yang selalu mengomel tentang pekerjaannya? Saya punya - di kantor saya dulu.
Teman ini, dulu waktu masih sekantor, setiap kali ketemu saya selalu mengomel. Omelannya itu-itu saja: Tentang teman yang ini atau yang itu, tentang lingkungan di kantor, tentang pekerjaannya yang dia rasa sudah overload, tentang prosedur yang tidak jelas, tentang gaji yang naiknya kecil, dan yang paling sering dikeluhkannya adalah tentang bossnya. Kalau sudah bicara tentang bossnya, hmm…semangatnya langsung menyala seperti obor yang baru disulut api.
Lalu saya paling-paling komentar (dan komentar saya juga itu-itu saja), begini: “Kamu sudah nggak betah kerja disini? Keluar saja!” Setelah mendengar komentar saya itu, session ceritanya usai, dan saya kembali bekerja, diapun kembali bekerja.
Ternyata setelah saya ngobrol dengan teman saya yang lain, barulah saya tahu bahwa teman saya yang suka mengomel itu bukan saja suka bercerita kepada saya, tetapi kepada semua teman yang ditemuinya. Dan ceritanya sama, yang itu-itu saja. Kalau ketemu saya lagi, mengomel lagi. Lagi-lagi komentar saya juga yang itu-itu saja: “Kamu sudah nggak betah kerja disini? Keluar saja!”
Mengapa komentar saya se-simple itu? Ya, bagi saya menjalani pekerjaan memang harus se-simple mungkin. Kenapa sih harus ruwet-ruwet? Kenapa sih bertele-tele? Kenapa sih kita suka terjebak dalam situasi yang melelahkan jiwa? Jika kita sudah tidak betah berada pada sebuah lingkungan pekerjaan, entah dikarenakan boss, teman, lingkungan atau bahkan pekerjaan itu sendiri, ya harus pergi, harus keluar secepat-cepatnya. Kalau tidak, kita jadi tidak produktif, tidak termotivasi, dan tidak bisa berkontribusi. Kalau situasi seperti ini tidak segera diselesaikan, akan mematikan kreativitas kita pelan-pelan. Kita nanti tak ubahnya jadi parasit, jadi beban team, jadi beban pimpinan, jadi beban perusahaan.
Dan biasanya hal ini cepat sekali menular ke teman yang lain. Tapi memang kadang-kadang kita belum siap mengambil sikap untuk quit dari pekerjaan sekarang, karena mungkin kita masih perlu uang, kebutuhan masih banyak, ada tanggungan anak, istri, masih harus menyicil rumah, dsb, Kalau demikian halnya, tidak ada pilihan lain, karena ternyata belum siap. Jadi tetap saja bekerja, tapi jangan mengomel, apalagi menjelek-jelekkan company sendiri. Mau terima gaji ya konsekuen, sportif.
Saya tidak habis pikir, ada orang yang tiap hari terus mengeluh di kantor. Di dalam kantor mengomel, di luar kantor mengomel. Semua hal jadi jelek di matanya. Pokoknya tidak ada yang benar. Kalau ketemu temannya, yang dibahasnya cuma melulu kantornya, tidak ada topik lain. Dan kantornya seolah-olah adalah kantor terburuk di dunia. Dia selalu bilang tidak betah, tetapi heran, dia bertahun-tahun tidak pergi-pergi juga, terus saja di sana, terus terima gaji. Ya, terima gaji dari kantor yang dikeluhkannya itu.
***
Dua hari lalu saya ada meeting dengan salah satu supplier. Kantornya di gedung tinggi di Jl. Rasuna Said – Jakarta. Seorang ibu berumur 45-an menemui saya. Seorang Kepala Keuangan. Kelihatannya orang lama. Saya melihat dari penampilannya dan gayanya. Mulanya kami berdiskusi tentang topik yang memang sudah diagendakan. Setelah selesai rapat, kami ngobrol santai. Saya bertanya tentang bisnis, tentang karyawan, tentang pekerjaan sampai akhirnya nggak tahu bagaimana ibu ini bercerita tentang bossnya. Dia katakan bossnya, yang sekaligus adalah owner perusahaan, me-manage perusahaan dengan keras, sangat disiplin, atau lebih tepatnya otoriter tanpa kompromi.
Setiap bulan bossnya ini meminta list absensi dari Kepala HRD, dan memeriksa satu-persatu karyawan yang absen. Jika karyawan absen tanpa surat dokter, langsung dipanggil, dimarahi, lalu diberi SP (Surat Peringatan). Bayangkan, seorang owner company besar mengurus hal-hal seperti itu.
Bagi bossnya, karyawan hanya boleh tidak masuk kerja jika sakit. Sakitpun, kalau tanpa surat keterangan dokter dianggap membolos. Jadi jika kepala anda pening, dan anda perlu istirahat sehari di rumah, paksalah diri anda untuk ke dokter dan minta surat keterangan sakit. Kalau tidak, anda dianggap mengada-ada. Walaupun sebenarnya anda terbiasa hanya dengan minum panadol saja sakit kepala anda sudah hilang, tetap anda harus ke dokter.
Ibu ini bilang, semua karyawan takut. Dari balik dinding kaca memang saya lihat wajah-wajah yang tegang, kuyu, dan tidak berseri. Suasana sepi sekali. Karyawan bekerja tanpa bicara dengan temannya, seperti tidak saling kenal. Serius sekali. Ya memang bagus sih pada jam kerja semua konsentrasi dan tidak ada yang mengobrol. Tapi tidak, mereka tidak sedang bekerja, mereka sedang mengerjakan perintah. Ya, hanya mengerjakan perintah. Anda tahu bedanya kan?
Dari cerita panjang lebar ibu ini, saya menyimpulkan karyawan tidak ada yang suka dengan boss besarnya karena otoriter, sadis, dan kalau marah kata-katanya begitu tajam menyakitkan. Tetapi heran, perusahaan ini begitu maju, bisnisnya makin lama makin besar. Di ruangan meeting saya melihat ada 3 piagam penghargaan dari MURI – museum pencatat record milik Jaya Suprana itu.
Apakah ibu ini betah bekerja di kantor seperti itu, yang suasana kantornya jauh dari kesan bersahabat, ditambah pula dengan gaya management bossnya yang otoriter itu? Saya tidak tahu persis.
Banyak orang memang tanpa sadar sudah berkubang di tempat yang sama bertahun-tahun. Kalau ada temannya menawari pekerjaan di perusahaan lain tidak mau terima dan keluar dari pekerjaannya tadi. Tapi lucunya, terus saja mengomel: nggak betah, capek, kesel, jengkel, emosi terus, marah terus, dan…terima gaji terus.
Orang-orang seperti itu rupanya punya mental toilet. Coba saja masuk toilet. Mula-mula smell yang aduhai itu begitu kencang. Tetapi setelah 2 menit, 5 menit, 15 menit, hidung sudah tidak lagi mengendus smell yang itu tadi. Hidung sudah bersahabat, jadi terbiasa, dan smell yang aduhai itu lama-lama terasa hilang sendiri (padahal smell itu tetap ada di situ – hidung kita saja yang pandai menipu). Saking enaknya, ada orang di luar gedor-gedor pintu tetap saja cuek. Habis, enak sih. Seperti teman saya tadi ya? (sekarang saya tidak tahu dimana teman saya itu - sudah loss contact)
Serpong, 11 Sep 2008
Titus J.
2 comments:
Ada teman (yang kebetulan mantan atasan) saya yang punya satu semboyan yang bagus.
Hidup itu di enakin aja.
Mungkin terdengar tawar, tapi karena saya pertama dengar kata itu waktu jam 3 pagi waktu ada emergency di sistem rasanya jadi lebih mendalam.
:) best of wishes
Nah, makanya Edward, ngga usah ruwet-ruwet, wong hidup cuma sekali aja. Tanpa disadari sebenarnya mengomel krn urusan pekerjaan sama saja dgn mengomeli hidup juga.
Post a Comment