Seandainya
anggota Komisi II DPR dan sederet nama-nama besar yang ‘bermain’ di proyek
e-KTP beberapa tahun lalu itu mau mendengarkan Ahok, tentu mereka akan selamat dari
hari penghakiman saat ini. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan sekarang
tinggal piring-piring kotor sisa dari sebuah pesta yang membuat mereka
deg-degan setiap kali membaca koran dan menonton TV hari-hari ini.
Entahlah, uang
2,3 Triliun yang dibuat bancaan itu begitu berkuasa hingga orang-orang
terhormat itu tak berkuasa untuk menolak. Dan seperti biasa, beberapa dari mereka
yang disebut di dalam dakwaan jaksa di pengadilan Tipikor minggu lalu membantah
bahwa mereka ikut mengambil bagian. Tidak perlu heran kalau mereka berkilah.
Mereka makan, kenyang, lalu menyeka mulutnya, dan berkata: “Aku tidak berbuat
jahat.”
Sebanyak 37
orang anggota Komisi II DPR yang disebut di dalam dakwaan jaksa itu sekarang
pasti teringat kembali kepada Ahok, rekan mereka yang dikucilkan karena
‘ngerepotin’ pembahasan proyek e-KTP. Nurul Arifin - rekan Ahok yang sama-sama
dari fraksi Golkar - yang ditugaskan untuk “melobby” Ahok agar tidak menjadi
batu sandungan, pasti teringat kembali percakapannya dengan Ahok yang kalau
diingatnya samar-samar kurang lebih begini:
“Hok, elu
mau dipindahin ke Komisi VIII bidang agama, karena elu ini di Komisi II rewel
banget,” kata Nurul.
“Wah, nggak
masalah gue ke Komisi VIII. Elu bilang ke bos-bos pimpinan fraksi ya, entar di
Komisi VIII gue bongkar soal mark-up
dana haji. Yang bongkar non-Muslim pula,” jawab Ahok enteng.
Nurul
pergi, dan kembali lagi setelah beberapa hari. Sepertinya bos-bos itu pusing
juga jika Ahok sampai masuk ke Komisi VIII dan mengacak-acak apa saja di
dalamnya. Harap maklum, bidang agama harus tetap dijaga “kesuciannya”.
“Jadi elu
maunya ke komisi berapa sih?” rayu Nurul.
“Mau ke
komisi berapapun gue siap. Di komisi manapun, keberadaan gue pasti bikin elu
orang sakit kepala.”
“Ya sudah,
sudah, elu tetap di Komisi II deh, tapi elu entar diam saja ya.”
Setelah itu
Ahok memang diam. Entahlah, mungkin ia tidak diundang rapat Komisi waktu
pembahasan proyek e-KTP, atau mungkin datang tetapi hanya jadi pendengar saja.
Ahok merasa bahwa nasihatnya akan sia-sia karena ia melihat libido untuk
memuaskan hasrat korupsi sudah sampai di ubun-ubun mereka. Percuma dicegah.
Dalam situasi seperti itu, bahkan malaikat pun agaknya tidak akan mampu
mencegahnya. Sejak saat itu Ahok tidak kedengaran lagi ngeributin proyek e-KTP,
karena tidak lama setelah itu ia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta
mendampingi Jokowi.
Dari situlah,
jika kita mau merenung sejenak dengan tenang dan hati bersih, betapa tidak
mudahnya posisi Ahok saat itu. Ia menjadi orang yang aneh sendiri di kalangan
rekan-rekannya di DPR. Nyanyian koor rekan-rekannya di DPR yang sudah kompak
itu diganggu dengan satu nada berbeda yang dibunyikan oleh Ahok. Ketika mereka
berkata bahwa dinding gedung DPR itu berwarna putih bersih, Ahok bilang kusam,
penuh jelaga dan debunya tebal. Ketika mereka bilang halaman gedung DPR begitu
indah permai berumput hijau, Ahok bilang penuh duri dan ditumbuhi banyak
ilalang. Ketika mereka dengan mudah menyebut Nama Tuhan yang kudus, Ahok tak berani sembarangan menyebut Nama-Nya, karena
ia tahu pembicaraan dan diskusi apa saja yang terjadi di ruang-ruang rapat,
yang jika didengarkan sungguh menista Nama Tuhan.
Jadi, tidak
perlu heran jika kita melihat Ahok yang sedang teraniaya di hari-hari ini. Ia sudah
biasa teraniaya, karena integritasnya tak bisa dibeli dengan uang. Orang yang
anti mainstream akan selalu teraniaya
karena menjadi bahan olok-olok, menjadi tertawaan, menjadi cemooh karena
berbeda sendiri. Jika saya ngobrol dengan teman-teman soal ini, semua heran
dengan endurance mentalnya. Mental
seperti itu tak kan pernah ditemukan pada orang yang bermental tempe. Orang
mengira Ahok akan kelelahan dan frustrasi karena hatinya terus-menerus gelisah
melihat ketidak-beresan. Namun saya yakin, hatinya justru lebih gelisah jika ia
mencium bau kotoran di depan hidungnya tapi mendiamkannya, pura-pura tidak
melihat atau bahkan pura-pura mencium bau wewangian.
Dalam
kegiatannya sehari-hari, ia tak pernah terlihat putus asa, loyo, mengeluh, lalu
curhat di Twitter, komplain bahwa dirinya dizolimi, dan sebagainya. Darimana ia
dapatkan kekuatan itu? Tidak lain dari keyakinan akan kebenaran yang
dipegangnya, walaupun ia seperti sendirian. Dalam setiap hal yang ia kerjakan,
ia selalu teringat sebuah nasihat, “Apapun
yang engkau kerjakan, kerjakanlah seperti engkau mengerjakannya untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.”
Maka
kelirulah kita jika kita menilai bahwa Ahok adalah pejabat yang paling malang
di negeri ini karena punya paling banyak musuh. Ia memang teraniaya dan
dikucilkan karena menjadi biang sakit kepala. Ia tidak diinginkan karena selalu
ngerepotin mereka yang ingin mencuri uang rakyat. Tetapi seandainya kita bisa
meneropong jauh di kedalaman hatinya, ia adalah orang yang paling berbahagia,
karena ia melakukan semuanya itu untuk Dia yang menjadi sandaran imannya. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan
dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat,” demikian khotbah Yesus di atas bukit.
Lawan-lawan Ahok saat ini mengkin begitu kepingin nama Ahok masuk di
dalam list penerima uang bancaan itu. Tetapi Jaksa Irene Putrie mengatakan
tidak ada nama Ahok dalam surat dakwaan. Ahok selamat dari hari penghakiman ini.
Seandainya 37 rekannya di Komisi II DPR dan sederet nama-nama besar
itu mau mendengarkan Ahok yang mereka anggap sebagai biang sakit kepala itu,
tentu hari-hari ini mereka tidak akan sakit kepala menunggu giliran dipanggil
pengadilan.
Sayangnya, dalam hidup ini tidak mengenal kata seandainya…
“Many people,
especially ignorant people, want to punish you for speaking the truth, for
being correct, for being you. If you are right and you know it, speak your
mind. Even if you are a minority of one, the truth is still the truth.” (Mahatma Gandhi)
***
Serpong,
13 Mar 2017
Titus J.
No comments:
Post a Comment