Tuesday, March 14, 2017

Seandainya mereka mendengarkan Ahok

Seandainya anggota Komisi II DPR dan sederet nama-nama besar yang ‘bermain’ di proyek e-KTP beberapa tahun lalu itu mau mendengarkan Ahok, tentu mereka akan selamat dari hari penghakiman saat ini. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan sekarang tinggal piring-piring kotor sisa dari sebuah pesta yang membuat mereka deg-degan setiap kali membaca koran dan menonton TV hari-hari ini.

Entahlah, uang 2,3 Triliun yang dibuat bancaan itu begitu berkuasa hingga orang-orang terhormat itu tak berkuasa untuk menolak. Dan seperti biasa, beberapa dari mereka yang disebut di dalam dakwaan jaksa di pengadilan Tipikor minggu lalu membantah bahwa mereka ikut mengambil bagian. Tidak perlu heran kalau mereka berkilah. Mereka makan, kenyang, lalu menyeka mulutnya, dan berkata: “Aku tidak berbuat jahat.”

Sebanyak 37 orang anggota Komisi II DPR yang disebut di dalam dakwaan jaksa itu sekarang pasti teringat kembali kepada Ahok, rekan mereka yang dikucilkan karena ‘ngerepotin’ pembahasan proyek e-KTP. Nurul Arifin - rekan Ahok yang sama-sama dari fraksi Golkar - yang ditugaskan untuk “melobby” Ahok agar tidak menjadi batu sandungan, pasti teringat kembali percakapannya dengan Ahok yang kalau diingatnya samar-samar kurang lebih begini:

“Hok, elu mau dipindahin ke Komisi VIII bidang agama, karena elu ini di Komisi II rewel banget,” kata Nurul.
“Wah, nggak masalah gue ke Komisi VIII. Elu bilang ke bos-bos pimpinan fraksi ya, entar di Komisi VIII gue bongkar soal mark-up dana haji. Yang bongkar non-Muslim pula,” jawab Ahok enteng.

Nurul pergi, dan kembali lagi setelah beberapa hari. Sepertinya bos-bos itu pusing juga jika Ahok sampai masuk ke Komisi VIII dan mengacak-acak apa saja di dalamnya. Harap maklum, bidang agama harus tetap dijaga “kesuciannya”.

“Jadi elu maunya ke komisi berapa sih?” rayu Nurul.
“Mau ke komisi berapapun gue siap. Di komisi manapun, keberadaan gue pasti bikin elu orang sakit kepala.”
“Ya sudah, sudah, elu tetap di Komisi II deh, tapi elu entar diam saja ya.”

Setelah itu Ahok memang diam. Entahlah, mungkin ia tidak diundang rapat Komisi waktu pembahasan proyek e-KTP, atau mungkin datang tetapi hanya jadi pendengar saja. Ahok merasa bahwa nasihatnya akan sia-sia karena ia melihat libido untuk memuaskan hasrat korupsi sudah sampai di ubun-ubun mereka. Percuma dicegah. Dalam situasi seperti itu, bahkan malaikat pun agaknya tidak akan mampu mencegahnya. Sejak saat itu Ahok tidak kedengaran lagi ngeributin proyek e-KTP, karena tidak lama setelah itu ia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi.

Dari situlah, jika kita mau merenung sejenak dengan tenang dan hati bersih, betapa tidak mudahnya posisi Ahok saat itu. Ia menjadi orang yang aneh sendiri di kalangan rekan-rekannya di DPR. Nyanyian koor rekan-rekannya di DPR yang sudah kompak itu diganggu dengan satu nada berbeda yang dibunyikan oleh Ahok. Ketika mereka berkata bahwa dinding gedung DPR itu berwarna putih bersih, Ahok bilang kusam, penuh jelaga dan debunya tebal. Ketika mereka bilang halaman gedung DPR begitu indah permai berumput hijau, Ahok bilang penuh duri dan ditumbuhi banyak ilalang. Ketika mereka dengan mudah menyebut Nama Tuhan yang kudus, Ahok tak  berani sembarangan menyebut Nama-Nya, karena ia tahu pembicaraan dan diskusi apa saja yang terjadi di ruang-ruang rapat, yang jika didengarkan sungguh menista Nama Tuhan.

Jadi, tidak perlu heran jika kita melihat Ahok yang sedang teraniaya di hari-hari ini. Ia sudah biasa teraniaya, karena integritasnya tak bisa dibeli dengan uang. Orang yang anti mainstream akan selalu teraniaya karena menjadi bahan olok-olok, menjadi tertawaan, menjadi cemooh karena berbeda sendiri. Jika saya ngobrol dengan teman-teman soal ini, semua heran dengan endurance mentalnya. Mental seperti itu tak kan pernah ditemukan pada orang yang bermental tempe. Orang mengira Ahok akan kelelahan dan frustrasi karena hatinya terus-menerus gelisah melihat ketidak-beresan. Namun saya yakin, hatinya justru lebih gelisah jika ia mencium bau kotoran di depan hidungnya tapi mendiamkannya, pura-pura tidak melihat atau bahkan pura-pura mencium bau wewangian.

Dalam kegiatannya sehari-hari, ia tak pernah terlihat putus asa, loyo, mengeluh, lalu curhat di Twitter, komplain bahwa dirinya dizolimi, dan sebagainya. Darimana ia dapatkan kekuatan itu? Tidak lain dari keyakinan akan kebenaran yang dipegangnya, walaupun ia seperti sendirian. Dalam setiap hal yang ia kerjakan, ia selalu teringat sebuah nasihat, “Apapun yang engkau kerjakan, kerjakanlah seperti engkau mengerjakannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Maka kelirulah kita jika kita menilai bahwa Ahok adalah pejabat yang paling malang di negeri ini karena punya paling banyak musuh. Ia memang teraniaya dan dikucilkan karena menjadi biang sakit kepala. Ia tidak diinginkan karena selalu ngerepotin mereka yang ingin mencuri uang rakyat. Tetapi seandainya kita bisa meneropong jauh di kedalaman hatinya, ia adalah orang yang paling berbahagia, karena ia melakukan semuanya itu untuk Dia yang menjadi sandaran imannya. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat,” demikian khotbah Yesus di atas bukit.

Lawan-lawan Ahok saat ini mengkin begitu kepingin nama Ahok masuk di dalam list penerima uang bancaan itu. Tetapi Jaksa Irene Putrie mengatakan tidak ada nama Ahok dalam surat dakwaan. Ahok selamat dari hari penghakiman ini.

Seandainya 37 rekannya di Komisi II DPR dan sederet nama-nama besar itu mau mendengarkan Ahok yang mereka anggap sebagai biang sakit kepala itu, tentu hari-hari ini mereka tidak akan sakit kepala menunggu giliran dipanggil pengadilan.

Sayangnya, dalam hidup ini tidak mengenal kata seandainya…

“Many people, especially ignorant people, want to punish you for speaking the truth, for being correct, for being you. If you are right and you know it, speak your mind. Even if you are a minority of one, the truth is still the truth.” (Mahatma Gandhi)

***
Serpong, 13 Mar 2017

Titus J.

No comments:

Eisenhower, The Top Figure Army General, The Modest President

This is a portrait of Dwight D. Eisenhower, a young dreamer, charting a course from Abilene, Kansas, to West Point and beyond. Before becomi...